REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan banding atas vonis 5,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan tindak pidana korupsi terhadap Panitera Sekretaris Jakarta Pusat, Edy Nasution. Dalam amar putusan, Edy diketahui divonis lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp300 juta dengan subsider lima bulan kurungan.
"Untuk Edy Nasution kita banding," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah pada Jumat (16/12)
Menurut Febri, KPK mengajukan banding lantaran ada bagian dari dakwaan dinyatakan tidak terbukti yakni perihal suap sebesar Rp 1,5 miliar oleh pegawai Lippo Grup Doddy Ariyanto Supeno terhadap Edy agar mengubah redaksional atau merevisi surat jawaban dari PN Jakpus. Untuk menolak eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raa Van justite Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang.
"Yang Rp 1,5 miliar dinyatakan tidak terbukti, itu akan jadi materi banding KPK," kata Febri.
Selain itu, materi banding lainnya berkaitan dengan perintah pengembalian barang bukti uang USD3,000, SGD1,800 dan Rp2,3juta kepada Edy. Sementara, untuk putusan terhadap Panitera PN Jakarta Utara, Rohadi, KPK menyatakan menerima dan tidak melakukan banding. Alasannya, karena vonis 7 tahun majelis hakim terhadap Rohadi dinilai telah proporsional dari tuntutan jaksa KPK yakni 10 tahun penjara.
"Rohadi tidak banding, karena hukuman 7 tahun dipandang masih proporsional," katanya.
Putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Sumpeno ini menyatakan Edy Nasution terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yakni menerima suap di antaranya Rp 100 juta dari pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno atas persetujuan dari mantan Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro. Pemberian uang berkaitan pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco).
Selanjutnya pemberian Rp 50 juta dari Doddy atas arahan pegawai bagian legal Lippo Group, Wresti Kristian Hesti kepengurusan sejumlah perkara Lippo di PN Jakarta Pusat. Edy juga menerima uang sebesar 50 ribu dollar AS terkait pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) perkara niaga PT Across Asia Limited (PT AAL) melawan PT First Media yang telah melewati batas waktu.
Hakim juga menilai Edy terbukti menerima gratifikasi yang bertentangan dengan jabatannya sebagai panitera PN Jakpus di antaranya USD 70 ribu, SGD 9.852 dan Rp 10.350.000. Karenanya, Edy terbukti melanggar pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun dalan putusannya, majelis hakim menilai Edy tidak terbukti menerima uang suap Rp 1,5 miliar dari Bos Paramount Enterprise International Evan Adi Nugroho terkait revisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan. Sebelumnya, uang Rp 1,5 miliar itu agar Edy mengurus perubahan redaksional surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan atas tanah yang berlokasi di Tangerang.