REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pejabat dan intelijen Amerika Serikat menuding Rusia membantu Donald Trump dengan membajak orang-orang dan institusi AS, termasuk Partai Demokrat demi kemenangan Trump. Tudingan ini membuat Trump marah.
Ia menampik jika Rusia membantunya dan menilai pemilihan presiden AS yang dilaksanakan pada 8 November lalu berjalan dengan adil dan jujur. Menurutnya tudingan itu tak berdasar.
"Jika Rusia atau sejumlah kelompok tertentu membajak sistem di Gedung Putih, mengapa Gedung Putih sangat terlambat untuk beraksi? Mengapa mereka hanya terus mengomel dan komplain kalau Hillary kalah?," kata Trump melalui Twitternya, Kamis, (15/12).
Faktanya, Pemerintah AS secara formal memang menuding Rusia di balik pembajakan sistem di AS pada Oktober lalu, sebulan sebelum dilakukan pemilihan presiden di Amerika. Obama pekan lalu meminta dilakukan review oleh intelijen Amerika. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada agen-agen intelijen asing yang ikut campur dalam pemilihan presiden di AS.
Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan, Presiden Obama mencari bukti-bukti keterlibatan asing dalam peretasan sistem di AS. Ini dilakukan dengan hati-hati sebelum akhirnya diumumkan pada Oktober lalu.
"Presiden Obama membuat keputusan berdasarkan data yang masuk, ini dilakukan secara hati-hati. Data yang masuk juga diperiksa dengan hati-hati oleh komunitas intelijen, oleh karena itu Obama memperingatkan negara ini soal aktivitas peretasan yang dilakukan Rusia, ia hanya melakukan tugasnya sebagai presiden," ujarnya.