Sabtu 17 Dec 2016 04:54 WIB

Salah

Berdusta, ilustrasi
Berdusta, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Muid Badrun

Setiap di antara kita pasti pernah berbuat salah. Karena manusia itu tak bisa lepas dari kesalahan. Ini kodrat manusia. Ibarat ikan tak bisa lepas dari air. Jika lepas maka ikan itu akan mati.

Sama dengan manusia, jika tak pernah berbuat salah berarti ia bukan manusia, malaikat namanya. Namun, berapa banyak di antara kita yang menyadari kesalahan itu? Berapa banyak pula yang setelah berbuat salah, sadar dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi?

Dari sinilah sejatinya kita bersyukur karena Allah Maha Pengampun atas segala dosa dan salah kita (QS al-A'raf: 153; QS asy-Syuura: 25; QS al-Ghafir: 7; QS al-Baqarah: 222). Sadar mengakui kesalahan itu baik. Namun lebih baik lagi berbuat baik agar tidak berbuat salah lagi.

Mari kita cek di sekeliling kita. Di rumah, di kantor, dan di mana pun berada. Berapa banyak orang salah lalu menjadi benar seterusnya. Para wakil rakyat, calon pemimpin jelang pilkada langsung sering sekali bersalah (ingkar janji), namun tetap saja kesalahan itu diulang-ulang tanpa sedikitpun ada penyelasan.

Bahayanya seperti ungkapan bijak berikut, "Kesalahan yang diulang-ulang terus-menerus akan bisa menjadi kebenaran baru." Jika kondisi Indonesia seperti ini, kiamat namanya. Kebenaran hanya diajarkan di sekolah dan kampus. Kebenaran hanya bisa ditemui di buku-buku. Kebenaran pun sering kita dengar di industri nasihat seperti di Indonesia.

Namun, ketika mewujud dan berhadapan dengan kepentingan, seringkali kebenaran itu kalah. Lalu, untuk apa sekolah, untuk apa kuliah jika kita tak berani berkata benar? Padahal, Nabi SAW dengan tegas mengingatkan, "Katakan yang baik dan benar, jika tak mampu diamlah," atau "Katakan yang benar, walau pahit rasanya."

Apakah kita sudah lupa diri sehingga kepentingan dunia menghalalkan segala cara, hingga yang jelas-jelas salah pun jadi benar. Bahkan atas nama kepentingan dan kekuasaan, kebenaran digadaikan. Naudzubillah. Setidaknya ada tiga kategori manusia salah.

Pertama, manusia salah dan tidak tahu itu salah. Dalam koridor Islam, ini dimaklumi. Makanya kategori ini diminta mencari ilmu itu wajib, agar tidak salah lagi. Kedua, manusia salah dan tahu itu salah. Nah, manusia inilah mungkin satu di antara kita. Kita tahu itu salah, namun kita tetap saja berbuat.

Kita tahu berbohong itu salah namun kita tetap saja melakukannya. Kita tahu khianat itu dosa, namun kita bangga ketika berkhianat. Kita paham, korupsi itu salah, tapi kita terbiasa melakukannya. Ini dalam koridor Islam diancam dengan kalimat Kaburo maqtan artinya Allah amat benci pada kategori ini.

Ketiga, manusia salah dan bertobat atas salahnya. Kita berharap, kita termasuk kategori yang ketiga ini. Salah itu manusiawi alias lumrah karena kita bukan malaikat. Namun lebih manusiawi lagi jika salah itu mengantarkan kita pada kebenaran istiqamah (konsisten benarnya). Jangan malah sebaliknya. Karena itu, bagi yang saat ini berbuat salah, cepatlah bertobat atas salah yang diperbuat.

Bagi yang saat ini bangga berbuat salah (disadari atau tidak), cepat-cepatlah ambil air wudhu lalu shalat taubat dua rakaat. Karena, Allah Maha Pengampun atas segala salah kita. Seberapa pun besarnya kesalahan, asal kita ikhlas bertobat dan berjanji tidak berbuat lagi, maka Allah akan ampuni salah dan dosa kita (QS An-Nisa': 110). Jangan sampai terlambat bertobat. Keterlambatan tobat mendekatkan kita pada pintu neraka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement