Selasa 20 Dec 2016 08:04 WIB

Redenominasi Rupiah Butuh Payung Hukum Segera untuk Persiapan

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Redenominasi
Foto: bank indonesia
Redenominasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai kondisi ekonomi yang stabil saat ini sudah tepat untuk membahas penyederhanaan nilai nominal uang rupiah atau redenominasi. Sebelumnya DPR-RI memutuskan untuk tidak memasukkan RUU Redenominasi ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas pada 2017.

Deputi Gubernur BI, Ronald Waas mengatakan, untuk transisi dari nominal Rp 1.000 menjadi Rp 1 membutuhkan waktu sekitar minimal 7 tahun, sehingga diperlukan pembahasan segera agar ada payung hukum untuk BI mempersiapkannya.

"Kalau tahun depan dibahas, nggak mungkin dimulai 2019. Karena tahun politik. 2020 ini kan pemerintahan baru.‎ Kita kan juga lihat persiapannya setelah UU. Sekitar 7 tahun mungkin 2024," tutur Ronald di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (19/12).

Ronald menuturkan, hal yang terpenting saat ini adalah adanya payung hukum dalam bentuk Undang-undang (UU). Sedangkan pelaksanaannya akan dijadwalkan sambil menjaga kondisi ekonomi dan politik tetap stabil dan tidak mengakibatkan dampak sosial.

Rencana penyederhanaan uang rupiah dengan menghilangkan tiga angka 0 ini menurut Ronald dapat berubah sewaktu-waktu, sesuai pertimbangan dari berbagai pihak. BI secara terbuka menerima masukan apabila dalam pembahasannya ke depan ada pertimbangan menghilangkan empat digit nominal angka.

"Jadi harus ada UU-nya. Karena nanti segala pengeluaran harus ada dasar hukumnya. Nggak bisa kita lakukan kegiatan tanpa ada dasar hukumnya," tuturnya.

Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat pun sangat penting agar ke depannya masyarakat dapat membantu. BI akan memasang dua label harga, satu harga lama dengan masih mencantumkan tiga angka 0, satunya lagi dengan harga baru.

"Kan kalau dia hanya rupiah baru kan bisa saja pedagang ubah harganya. Tapi kalau ada dua harga, kan bisa dikontrol. Kemudian masalah pembulatan, harus dipertimbangkan juga, dilakukan ke atas atau ke bawah," ujarnya. Untuk itu, Bank Indonesia dan pemerintah akan berkoordinasi agar RUU Redenominasi ini dapat segera dibahas oleh legislator.

Sementara itu Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi, menilai saat ini redenominasi tidak terlalu mendesak. Akan tetapi saat ini pemerintah dan BI telah dapat mengendalikan inflasi dalam posisi lumayan rendah dibanding beberapa tahun lalu. Hal tersebut menjadi faktor utama yang paling menentukan.

Redenominasi, kata Eric, dalam jangka panjang akan berdampak positif. Pertama, secara psikologis membuat orang yang memegang rupiah merasa seolah-olah mata uangnya menjadi lebih kuat.

"Biasanya kalau mau beli 1.000 dolar AS mesti bawa duit rupiah segepok. Dengan redenominasi, hanya perlu beberapa lembar saja" ujarnya, belum lama ini.

Dampak kedua, akan memudahkan sistem perhitungan karena jumlah digitnya berkurang. Namun menurutnya ini juga persepsi dari psikologis masyarakat. Hal-hal tersebut akan dirasakan masyarakat saat mulai terbiasa menggunakan rupiah yang telah diredenominasi.

Di sisi lain, dampak negatif dari redenominasi akan terasa dalam jangka pendek atau saat redenominasi mulai dilakukan. Pertama, ada tambahan tekanan inflasi karena pembulatan harga. Kedua, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk penggantian sistem, misalnya di perusahaan dan perbankan. Kendati begitu secara umum ia menilai adanya redenominasi ini positif untuk perekonomian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement