REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian meluncurkan standar industri hijau (SIH) untuk 17 jenis industri. Standar ini disusun berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) digit lima, yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, standar industri hijau diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan dalam menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan. Hal ini berdasarkan best practice yang akan menjadi benchmark di dalam maupun luar negeri. Standar ini bisa juga memacu peningkatan pasar ekspor karena ramah lingkungan dan penghematan cost perusahaan karena efisien.
Menurutnya, sejak 2014 sampai saat ini sudah dicapai konsensus atas SIH untuk 17 jenis industri, yaitu industri semen portland, ubin keramik, pulp dan kertas, susu bubuk, pupuk buatan tunggal hara makro primer, pengasapan karet, karet remah, serta tekstil pencelupan, pencapan, dan penyempurnaan. Selanjutnya, gula kristal putih, kaca pengaman berlapis, kaca pengaman diperkeras, barang lainnya dari kaca, kaca lembaran, penyamakan kulit, pengawetan kulit, baja flat product, dan baja long product.
SIH akan diberlakukan secara wajib ketika semua infrastruktur dan pelaku industrinya telah siap. Pada tahap awal, standar industri hijau diberlakukan secara sukarela. Namun nantinya, secara selektif bersifat wajib. "Perusahaan yang tidak dapat memenuhi standar industri hijau tentunya akan dikenakan sanksi. Karena standar ini juga menjadi penting bagi industri sebagai tolak ukur dalam peningkatan daya saing," kata Airlangga pada Peluncuran Standar Industri Hijau di Kementerian Perindustrian, Senin malam (19/12)
Bagi perusahaan yang telah menerapkan SIH, berhak mengajukan verifikasi industri hijau guna mendapatkan sertifikat dan menyandang logo industri hijau. Apabila industri hijau sudah menjadi tujuan dan motivasi industri secara umum, itu bisa menjadi katalis dan akselerator dalam pengembangan industri yang berbasis inovasi dan berdaya saing tinggi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Haris Munandar menjelaskan, standar industri hijau diperlukan karena sebagai alat ukur dan indikator untuk mengetahui sejauh mana prinsip industri hijau telah diterapkan. Menurut Haris, standar industri hijau juga merupakan sarana yang andal sebagai acuan dalam melakukan pembinaan dan pengembangan industri, khususnya menyiapkan program yang mendukung terjadinya pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan meningkatnya penguasaan teknologi termasuk melalui pemanfaatan hasil-hasil litbang nasional. "Pengembangan industri hijau juga bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan energi, yang sekaligus akan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)," ujarnya.