REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Mahfud MD mengatakan, saat ini kondisi hukum di Indonesia masih membutuhkan banyak perbaikan. Mahfud mencontohkan adanya kasus dugaan makar yang dituduhkan terhadap beberapa politisi di Indonesia belum lama ini.
Menurut Mahfud, dugaan makar tersebut kurang tepat dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Pasalnya, tuduhan makar yang ditujukan pada para politisi tersebut masih sangat prematur.
"Bahkan jika dianalisa, ada persinggungan antara hukum pidana dengan hukum tata negara pada kasus tersebut," ujarnya saat menjadi pembicara dalam sarasehan refleksi akhir tahun 'Membaca Arah Politik Penegakan Hukum di Indonesia' di kampus Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Selasa (20/12).
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga mencontohkan adanya upaya pelemahan terhadap keberadaan Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Hal itu, kata dia, terlihat dari usulan penghapusan kewenangan penyadapan, KPK hanya berhak menangani korupsi di atas Rp 50 miliar, hingga pertimbangan seputar SP3.
"Di samping pelemahan dari luar, akhir-akhir ini saya justru melihat ada pelemahan dari dalam. Ada beberapa kasus yang bisa dicontohkan, misalnya soal reklamasi teluk Jakarta, persoalan RS Sumber Waras Jakarta, dan lain-lain yang kemudian mengundang anggapan ada kekuatan di luar KPK yang mengendalikan," ujarnya.
Mahfud mengatakan, Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima. Tapi, kenyataan seringkali tak menunjukkan kondisi yang dicita-citakan itu. Dari contoh yang ada, masih banyak pekerjaan rumah di bidang penegakan hukum yang memang harus diperbaiki ke depan.
"Tak jarang penegakan hukum menjadi amburadul karena para penegaknya banyak yang 'tersandera' persoalan mereka di masa lalu," ujarnya.