Selasa 20 Dec 2016 15:50 WIB

Soal Fatwa MUI Terkait Atribut Natal, Ini Komentar Menag

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Bilal Ramadhan
 Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Soal fatwa haramnya Muslim menggunakan atribut non-Muslim, Menteri Agama mengatakan fatwa mengikat yang meminta fatwa. Keputusan mengikuti fatwa kembali kepada Muslim hendak ikut atau tidak.

Usai Ekspose Publik Penyelenggaraan Umrah 2016 di Kantor Kementerian Agama pada Selasa (20/12), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, fatwa merupakan pendapat hukum dari ahli hukum atas pertanyaan pihak yang meminta. Maka, fatwa hanya mengikat yang meminta. Mereka yang tidak meminta fatwa, tidak terikat fatwa tersebut.

''Ini berpulang pada Muslim, apakah ikuti fatwa itu atau tidak. Fatwa itu bukan putusan pengadilan. Tapi dengan hal ini, menurut pandangan saya, baik ditanyakan kepada ulama yang lebih punya kapasitas,'' ungkap Lukman.

Fatwa terbaru yang dirilis Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terkait dengan Kemenag. Fatwa itu murni pandangan hukum keagamaan para ulama atas pertanyaan dari yang meminta.

Soal ormas yang melakukan sweeping penggunaan atribut non Muslim oleh Muslim, Lukman mengatakan harus diperjelas dulu bagaimana sweeping-nya. Kalau disertai ancaman, hal itu hanya bisa dilakukan aparat. Selain aparat, tidak boleh ada upaya pemaksaan.

Kalau sekelompok orang boleh memaksa, yang lain akan melakukan yang sama. Kalau begitu, yang terjadi adalah aksi anarkis. Yang boleh melakukan itu hanya aparat atau instansi yang diberi kewenangan hukum.

Baru-baru ini MUI merilis fatwa haramnya Muslim menggunakan atribut non-Muslim seiring fenomena saat peringatan hari besar agama non-Islam terdapat umat Islam menggunakan atribut dan atau simbol keagamaan non-Muslim.

Dia mengatakan ajakan dan atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim juga tergolong haram. Dalam menyikapi hal tersebut MUI melalui Komosi Fatwa berharap umat Islam tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama tanpa menodai ajaran agama serta tidak mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

Umat Islam, juga diminta saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-Muslim dalam menjalankan ibadahnya bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement