REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim kasus dugaan penistaan agama yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menolak keinginan tim kuasa hukum gubernur nonaktif DKI Jakarta itu memberikan tanggapan atas pendapat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama, Selasa (20/12). Dalam sidang kedua tersebut JPU menolak semua eksepsi Ahok dan tim kuasa hukumnya.
Ketua Tim Kuasa Hukum Ahok, Tri Moeljadi mengaku pasrah. Sebenarnya, kata Tri, pihaknya hanya ingin menyampaikan tanggapan secara singkat. "Sebenarnya asas fair trial itu di mana pun hak bicara terakhir ada pada terdakwa. Tapi tadi, karena memang secara sempit apa yang disampaikan jaksa ya betul setelah jaksa menyampaikan pendapatnya, putusan tetapi larangan memang ada, tapi asas pasal 180 kalau tidak salah itu sebenarnya kata terakhir ada pada terdakwa," kata Tri di eks Pengadilan Jakarta Pusat, Selasa (20/11).
Menurut Tri, dalam pemeriksaan, terdakwa diperiksa terakhir, saksi-saksi diperiksa terlebih dulu. Kemudian saksi fakta, baru ahli dan terdakwa. Kemudian waktu selesai pemeriksaan sebelum putusan hakim, ada tuntutan, pledoi, replik, duplik, terdakwa selalu di tempatkan pada bagian terakhir.
"Ini kan proses awal, tuntutan, nota keberatan, eksepsi, tanggapan, sebetulnya kami berhak kalau tidak salah asas fair play kesetaraan. Ini kan begini, dakwaan trus tanggapan, kami cuma eksepsi (porsinya) 2:1. Padahal asasnya hak bicara yang terakhir itu terdakwa. Tapi, karena yang ingin kami sampaikan juga ringkas, ya sudahlah," ucapnya.
Setelah pembacaan pendapat JPU, tim kuasa hukum Ahok sempat ingin mengajukan tanggapan dari pendapat JPU. Namun, permintaannya tersebut ditolak oleh Majelis Hakim.
"Setelah kami bermusyawarah, maka sidang pembacaan pendapat JPU sudah diatur dan mengikat, maka kami akan menunda sidang ini untuk acara keputusan. Keberatan saudara (terdakwa) bisa kami catat di berita acara persidangan. Sidang kami tunda dan akan kami lanjutkan dengan agenda putusan pada Selasa (27/12)," kata Dwiyarso.