REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayjen Dodik Wijanarko, terkait pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016. Hal tersebut karena adanya dugaan keterlibatan anggota TNI dalam kasus tersebut.
"Kami melakukan koordinasi penanganan kasus Bakamla, sehingga kami mencarikan jalan paling baik untuk kasu ini," ujar Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, Selasa (20/12).
Laode mengatakan, koordinasi dititikberatkan berkaitan penanganan anggota TNI yang diduga ikut terlibat kasus suap senilai Rp2 miliar itu. Pasalnya, KPK tidak memiliki kewenangan untuk menangani anggota militer.
Namun, Syarif enggan menjelaskan lebih rinci apakah nantinya pasca koordinasi KPK dengan Puspom TNI akan ada tersangka dari unsur militer. "Nanti setelah dibicarakan dan gelar perkara nanti Danpuspom yang umumkan, kalau itu betul ada tersangka," katanya.
Sebelumnya, KPK tidak membantah unsur TNI diduga ikut terlibat dalam perkara dugaan penyuapan kepada Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi. Namun untuk penindakannya, KPK akan berkoordinasi dengan Polisi Militer (POM) TNI. Hal ini mengingat dalam Undang-undang KPK tidak berwenang menindak oknum TNI.
Adapun dalam kasus ini KPK telah menetapkan Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut, Eko Susilo Hadi (ESH) sebagai tersangka. Bersama tiga orang lainnya dari PT Melati Technofo Indonesia yakni Fahmi Darmawansyah (FD), Hardy Stefanus (HST) dan Muhammad Adami Okta (MAO).
Keempatnya ditetapkan tersangka pasca tangkap tangan KPK pada Rabu (14/12) siang. Para tersangka bersama satu saksi bernama Danang Sri diamankan KPK seusai penyerahan uang senilai Rp2 miliar di Gedung Bakamla, Jalan DR Sutomo, Jakarta Pusat. Uang tersebut diduga pemberian suap PT Melati Technofo Indonesia kepada Eko terkait proyek pengadaan monitoring satelit di Bakamla Tahun Anggaran 2016.
"Penyidik mengamankan ESH di ruang kerjanya beserta uang sejumlah setara Rp2 Miliar dalam mata uang dollar Amerika dan Singapura," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta, pada Kamis (15/12).
KPK juga pun menduga pemberian uang merupakan bagian dari komitmen fee sekitar 7,5 persen dari nilai proyek Rp200 miliar. Atas perbuatannya, KPK menetapkan Eko sebagai penerima suap dan disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Sementara Fahmi, Adami dan Hardy sebagai pihak pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.