Selasa 20 Dec 2016 21:39 WIB

PKS: Paksa Karyawan Muslim Pakai Atribut Natal Melanggar Konstitusi

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Ketua DPP PKS Aboebakar AlHabsy (kanan)
Foto: antara
Ketua DPP PKS Aboebakar AlHabsy (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Fraksi PKS, Aboebakar Al-Habsyi menyatakan apa yang disampaikan oleh Kapolri tidak salah, fatwa MUI memang bukan sumber hukum di Indonesia.  Aturan hukum di Indonesia dibuat berdasarkan TAP MPR No III Tahun 2000 dan UU No 12 Tahun 2011, didalamnya fatwa MUI bukan salah satu instrumen hukum.

''Jadi tidak bisa dijadikan rujukan dalam pembentukan hukum positif. Yang perlu dipahami, fatwa MUI ada guide lines untuk umat Islam,'' katanya dalam keterangan persnya, Selasa (20/12).

Menurutnya, MUI memiliki tanggung jawab untuk membimbing umatnya agar tidak salah dalam menerapkan ajaran agama. Oleh karenanya, untuk kalangan non-muslim seharusnya menghormati ajaran agama Islam sebagaimana di fatwakan oleh MUI. Ia menegaskan, toleransi bukan berarti harus melanggar fatwa MUI ataupun ajaran agama.

''Memaksa karyawan muslim memakai atribut natal tidak lah melanggar fatwa MUI, tetapi melanggar konstitusi,'' ujarnya.

Politikus PKS itu menyatakan, jika dalam Islam dikatakan haram memakai atribut natal, maka memaksakan karyawan menggunakan atribut natal adalah bentuk pelanggaran HAM. Ketika seorang muslim ingin mengikuti fatwa MUI, maka negara seharusnya memberikan perlindungan, karena ini adalah amanat konstitusi NKRI.

Hak untuk beragama merupakan non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan tersebut sebagaimana Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

''Bila dalam keadaan perang saja, hak beragama tidak dapat dikurangi. Apalagi hanya dalam perayaan natal. Saya kira masih banyak teknik marketing yang bisa digunakan oleh pengusaha tanpa merusak kebhinekaan,'' ujarnya.

Disinilah, lanjut dia, tugas aparat penegak hukum untuk menjaga tertib sosial. Jangan sampai karena alasan perayaan hari keagamaan, tertentu lantas memaksakan kehendaknya dan mengabaikan toleransi antar umat beragama.

''Yang paling penting, penegak hukum harus memahami benar isi konstitusi dan menjaganya dengan baik untuk kedaulatan dan keutuhan NKRI,'' jelasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement