Rabu 21 Dec 2016 11:43 WIB

MUI: Keberatan Fatwa Atribut Keagamaan Lebih karena Urusan Komersil

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Teguh Firmansyah
Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Ikhsan Abdullah mengatakan fatwa haram penggunaan atribut-atribut keagamaan lain lebih bersifat mengikat kepada individu atau umat Islam yang meyakini dan tidak bersifat mengatur bagi umat lain.

Dia menyebut keberatan akan munculnya fatwa tersebut sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh para pengusaha hiburan, mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, dan beberapa perusahaan fabrikasi.

"Yang selama ini mengekploitasi buruhnya yang beragama Islam untuk menggunakan atribut-atribut keagamaan dalam rangka menjaring konsumen atau tamu-tamu pusat perbelanjaan atau hiburan tersebut lebih kepada kepentingan komersial," ujar Ikhsan, Rabu (21/12).

Hal ini, kata dia, sudah berlangsung lama dan buruh atau pekerja muslim tersebut tidak berdaya menghadapi peraturan internal yang diberlakukan oleh perusahaannya tersebut.

Tidak ada satu pun di Indonesia majelis agama tertentu yang mewajibkan penggunaan atribut-atribut keagamaan tertentu pada buruh atau pekerja yang beragama Islam.

Demikian pula umat Islam sejauh ini sangat toleran dan menyambut gembira perayaan-perayaan keagamaan dari saudara sebangsa yang beragama lain.

Tidak pernah muncul satu insiden pelarangan penyelenggaran hari keagamaan dan atributnya oleh yang beragama lain. "Hal tersebut sebenarnya merupakan wujud toleransi yang amat tinggi yang tumbuh dan dirawat oleh umat," ujarnya.

Baca juga, Pemaksaan Pemakaian Atribut Natal Dinilai Bertentangan dengan Pancasila.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada Rabu (14/12) lalu MUI menerbitkan fatwa No 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Isi dari fatwa tersebut yakni:

1. Menggunakan atribut non-Muslim adalah haram.

2. Mengajak dan atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram.

3. Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

MUI juga mengeluarkan enam rekomendasi sebagai berikut:

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.

4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim.

5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syariat agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.

6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan Muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement