Rabu 21 Dec 2016 18:51 WIB

PP Aisyiyah: Pemerintah Harus Menerima Fatwa MUI

Rep: Fuji E Permana/ Red: Bayu Hermawan
Larangan atribut natal (ilustrasi).
Foto: Foto : Mardiah
Larangan atribut natal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kepolisian RI setiap kali mengeluarkan fatwa. Sebab, mengeluarkan fatwa sudah menjadi tugas dan tanggungjawab MUI.

Salah satu Ketua PP Aisyiyah sekaligus Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Prof Masyitoh Chusnan mengatakan MUI tidak harus berkoordinasi dengan Kemenag dan Polri ketika mengeluarkan fatwa. Tetapi, kalau memang dibutuhkan tentu MUI juga bisa berkoordinasi.

"Tetapi MUI tidak harus berkoordinasi karena mereka sudah punya rambu-rambu sendiri. MUI untuk Indonesia yang tugasnya memberi fatwa (dan) nasihat yang dipandang MUI untuk kemaslahatan umat dan bangsa," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (21/12).

Ia menjelaskan fungsi MUI memayungi, artinya suatu saat MUI juga bisa menasihati pemerintah jika memang diperlukan. Jadi kesimpulannya tidak harus koordinasi karena MUI punya hak untuk menentukan fatwa sendiri. Fatwa MUI merupakan hasil pemikiran dan rumusan seluruh komponen yang ada di MUI.

Berbagai pemikiran yang ada di MUI sudah diproses sedemikian rupa sebelum mengeluarkan fatwa. Ia menegaskan, keluarnya fatwa MUI tidak sembarangan. Tokoh-tokoh yang ada di MUI sudah memprosesnya dengan sangat matang.

"Dalam hal-hal ini tertentu MUI mutlak mengeluarkan fatwa sesuai rambu-rambu yang ada di MUI," ujarnya.

Masyitoh menegaskan, pemerintah mestinya menerima fatwa MUI. Sebab, fatwa MUI bukan main-main dan fatwa tersebut dihasilkan bukan tanpa perhitungan yang matang. Kalau pemerintah menegur MUI kesannya melakukan intervensi.

Tetapi, dijelaskan Prof Masyitoh, MUI juga tidak boleh menutup kalau pemerintah punya pendapat. Namun, pemerintah tidak harus menegur.

"Mestinya pemerintah menerima apa yang sudah difatwakan MUI karena fungsi MUI mengawal pemerintah, jangan dipandang sebelah mata (fatwa MUI)," jelasnya.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa MUI Nomor 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan non-Muslim. Kemudian, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto menyebut agar MUI melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian RI dan Kemenag dalam setiap menetapkan fatwa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement