Kamis 22 Dec 2016 04:49 WIB

Ibu

Anggota Pramuka berpelukan dengan ibunya usai membasuh kaki ibunya dalam acara kwartir nasional gerakan pramuka 'Membasuh kaki Ibu' di Taman Rekreasi Wiladatika, Jakarta Timur, Rabu (21/12).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anggota Pramuka berpelukan dengan ibunya usai membasuh kaki ibunya dalam acara kwartir nasional gerakan pramuka 'Membasuh kaki Ibu' di Taman Rekreasi Wiladatika, Jakarta Timur, Rabu (21/12).

Oleh: Uhah Maftuhah

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.” Sayup-sayup syair yang diucapkan pemuda Yaman itu timbul tenggelam di tengah gemuruh talbiyah. Ka’bah yang suci menjadi saksi bagaimana nafasnya tersengal-sengal dalam lelah lantaran di punggungnya terdapat seorang wanita tua.

Pemuda yang baik itu memang sangat mencintai Ibunya sehingga ia rela menjadi tunggangan bagi puncak ibadah wanita yang dicintainya itu. Sesudahnya, diiringi keringat yang bercucuran, pemuda yang baik itu mendatangi Ibnu Umar RA. “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepada Ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun hanya setarik nafas yang Ibumu keluarkan ketika beliau melahirkanmu ke dunia.”

Kisah yang dinukil dari Kitab Adabul Mufrad menjadi sebuah ilustrasi betapa kecilnya jasa seorang anak di hadapan ibundanya. Imam Adz-Dzahabi RA dalam kitabnya al-Kabaair, menjelaskan tentang besarnya jasa seorang Ibu terhadap anak, dan bahwa jasa orang tua kepada anak tidak bisa dihitung.

Pertama, ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun. Kedua, dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Ketiga, dia telah menyusuimu, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Keempat, dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu daripada dirinya serta makanannya.

Kelima, dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Keenam, dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu. Ketujuh, seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Kedelapan, betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik. Kesembilan, dia selalu mendoakanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Kesepuluh, tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Kesebelas, engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Keduabelas, engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan. Ketigabelas, engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu. Keempatbelas, engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Kelimabelas, berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah. Keenambelas, engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek. Ketujuhbelas, engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Sungguh Allah SWT melalui firman-Nya (QS al-Ahqaaf :15; QS al-Isra’:23-24; QS an-Nisa:36; QS Luqman :15) dan Rasulullah SAW dalam hadisnya, telah memerintahkan kepada kita semua sebagai Muslim untuk senantiasa selalu menghormati, memuliakan, menaati perintah ibu yang tidak bertentang dengan perintah dan larangan-Nya, menyayanginya sampai akhir hayatnya, dan selalu mendoakannya ketika sudah wafat sekalipun.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Rasulullah saw menjawab, ‘Ibumu!’ dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?, Rasulullah saw menjawab, ‘Ibumu!,’ orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?, Beliau menjawab, ‘Ibumu.” Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi,’ Rasulullah saw menjawab, ‘kemudian ayahmu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Allahummaghfir lana wa liwaalidaynaa warhamhuma kamaa rabbayanaa shighaaraa. “Ya Allah, ampunilah kami dan kedua orangtua kami, dan sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi kami di waktu kecil” Amin.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement