REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menekankan pentingnya revolusi mental hakim di Indonesia. Selain merupakan benteng terakhir keadilan, hakim merupakan pemutus perkara sehingga putusannya berdampak langsung terhadap penegakan hukum di Indonesia.
"Namun ironis meskipun Indonesia merupakan negara yang konstitusinya berdasarkan ketuhanan yang maha esa, negara beragama. Namun mental penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia masih ada yang memprihatinkan. melanggar kode etik. Ini yang harus direvolusi," papar komisioner Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus dalam keterangan persnya dalam Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) I/2016 Gerakan Mahasiswa Kosgoro yang digelar di Wisma Puspiptek, Tangerang Selatan, pada tanggal 20-22 Desember 2016.
Namun Jaja mengakui Komisi Yudisial memiliki keterbatasan melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap penegakan kehormatan dan kewibawaan hakim. "Personil Komisi Yudisial terbatas. Kewenangan Komisi Yudisial dalam undang-undang harus diperkuat. Kami baru memprioritaskan pemantauan dan pengawasan dalam perkara yang disorot oleh publik," katanya.
Sementara Ketua Umum DPN Gerakan Mahasiswa Kosgoro HM Untung Kurniadi mengungkapkan, Indonesia membutuhkan hakim-hakim yang berintegritas, jujur dan adil, menguasai hukum yang mumpuni, dan yang terpenting anti suap. "Masih banyak hakim berperilaku busuk. Mental hakim busuk ini harus direvolusi sehingga harapan publik atas kehadiran pengadilan yang jujur dan adil dapat terwujud," kata Untung.
Untung memahami bahwa Komisi Yudisial memiliki keterbatasan personil sehingga tidak dapat memantau persidangan dan mengawasi seluruh hakim di setiap lembaga pengadilan. Makanya dia mengaku siap bekerjasama dengan Komisi Yudisial dengan menjadi mata dan telinga Komisi Yudisial di lapangan dengan melaporkan perilaku hakim yang tidak terhormat serta melanggar kode etik.
"Kami dengan struktur hingga ke tingkat kabupaten dan kota siap membantu Komisi Yudisial melaporkan perilaku hakim yang tidak bermoral. Demi Indonesia yang lebih baik kami siap jadi intel Komisi Yudisial," katanya.
Gerakan revolusi mental, kata Untung, semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional.