REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum Islam adalah the living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Karenanya setiap orang, termasuk negara harus menghormati hukum yang bersumber dari agama Islam, seperti hukum-hukum yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Akan sangat bijak jika negara mengimbau setiap orang menghormati fatwa MUI soal mengenakan atribut Natal. Pemerintah juga perlu mengajak pengusaha non-Muslim menghormati fatwa MUI itu," kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Hal itu dikemukakan Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Sabtu (24/12).
Yusril mengatakan, fatwa MUI terkait larangan orang Islam menggunakan atribut agama lain adalah hal yang wajar. Hal itu sesuai dengan fungsi MUI, yang antara lain berkewajiban untuk mengeluarkan fatwa agar adanya kepastian hukum dilihat dari sudut hukum Islam sebagai the living law.
"Saya berpendapat bahwa fatwa MUI itu adalah sewajarnya, patut dihormati oleh semua pihak dan tidak perlu pula ditafsirkan secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidakenakan pula kepada pihak-pihak di luar umat Islam," katanya.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) itu, hukum Islam bukan ius constitutum dan bukan pula ius constituendum, sehingga tidak diformulasikan oleh negara. Sebaliknya, sebagai the living law, hukum Islam hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat.
Hukum Islam berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan kadang-kadang daya pengaruhnya bahkan mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh negara. Hukum yang hidup itu bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat, antara lain hidup melalui fatwa yang dikeluarkan oleh mufti atau institusi lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat.
"Fatwa umumnya dikeluarkan untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat dilihat dari sudut hukum Islam, supaya ada kepastian hukum," kata Yusril.