REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah DPR merevisi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR menuai kritik.
Analis Politik POINT Indonesia Arif Nurul Imam menilai, langkah DPR merevisi UU MD3 tak memiliki relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen. Menurut dia, upaya revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan dan menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"“Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan," ujar Arif kepada Republika.co.id, Ahad (25/12).
Arif menegaskan, penambahan kursi pimpinan DPR tak berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja. Yang ada, kata dia, justru akan menambah beban negara. "Sebagai contoh pada tahun 2016, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” cetus Arif.
Saat ini, revisi terbatas UU MD3 terkait penambahan kursi pimpinan DPR serta MPR telah disepakati Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
“Tantangan DPR saat ini adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan publik dengan menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal, bukan justru sekadar bagi-bagi kekuasaan. DPR mesti menerapkan politik kinerja, bukan politik akomodasi,” tegasnya.