Tak beda dengan sekarang, semenjak dahulu kala hubungan antara ulama dan kekuasaan selalu unik dan terkesan seperti karet: mulur dan mungkret. Kadang di satu waktu begitu dekat, namun kerao juga disatu kurun berseberangan dengan kekuasaan.
Kajian tentang hubungan ulama dan kekuasaan yang unik ini sempat dikaji oleh almarhum sejarawan Universitas Gajah Mada, Ahmad Adaby Darban. Dalam hal ini dia khusus menyoroti keunikan posisi ulama dalam kaitannya dalam masa Kerajaan Islam di Jawa. Kajian ini sempat ditulisnya dalamsebuah jurnal pada tahun 2004 silam.
Dalam kajiannya Adaby yang lahir dan besar di Kampung Kauman Yogyakarta itu menulis begini:
Dari pertumbuhan dan pengembangannya, ulama di Jawa dapat dikategorikan menjadi empat tipe ulama. Tipe yang pertama, adalah golongan ulama yang merangkap sebagai penguasa pusat pemerintahan. Termasuk golongan ini ialah Sunan Giri dengan keturunannya dan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Pemimpin agama itu mempunyai reputasi tinggi dalam bidang keagamaan, politik kenegaraan, dan otoritas sebagai pentahbis para sultan di Jawa sebelum Mataram.
Tipe yang kedua, adalah golongan ulama yang masih berdarah bangsawan. Hal ini dapat terjadi, karena sering para bangsawan ataupun raja mengawinkan puteranya dengan ulama, atau keluarga ulama. Ulama yang golongan kedua ini antara lain Ki Ageng Pandan Arang, Sayid Kalkum, dan Panembahan Rama atau Kyai Kajoran. Yang disebut terakhir ini (Kajoran) justru masih keturunan Panembahan Senopati, raja Mataram pertama (pendiri dinasti Mataram).
Tipe yang ketiga, adalah golongan ulama sebagai alat birokrasi kerajaan/tradisional. Ulama birokrat bertugas pada upacara keagamaan kraton, pernikahan keluarga raja, urusan tempat ibadah, dan makam. Di samping itu ulama kelompok ini juga berperan sebagai pemberi fatwa tentang hukum-hukum agama. Ulama golongan ini sering disebut sebagai Abdi Dalem Pamethakan, Abdi Dalem Kaji, Abdi Dalem Suronoto, dan sebagainya. Mereka berada di bawah kepemimpinan Penghulu Kraton.
Tipe yang keempat, adalah golongan ulama pedesaan yang hidup di desa-desa dan tidak memiliki hubungan dengan birokrasi. Kaum ulama desa ini bekerja independen menurut kemauannya sendiri untuk mengembangkan agama Islam di daerahnya. Ulama desa ini lebih akrab dan dekat dengan rakyat. Oleh rakyat desanya, mereka dihormati sebagai elite religius dan tempat bertanya.
Termasuk dalam Tipe ini juga kaum ulama pengembara, dan ulama yang menetap di daerah perdikan. Dari keempat tipologi ulama diatas, dapat dilihat bahwa tipe pertama pada saat ini sudah tidak ada lagi, sedangkan tipe kedua dan keempat merupakan ulama yang di dalam sejarah lebih independen, dan berani menyampaikan secara tegas kebenaran Islam, meskipun harus bertentangan dengan penguasa.
Ulama tipe ketiga, yaitu ulama birokrat, biasanya merupakan alat upacara kraton, hidupnya sangat bergantung pada ma’isah (penghidupan) dari kraton. Oleh karena itu, lebih terikat pada penguasa. Walaupun dapat digolongkan dalam tipe-tipe diatas, para ulama itu tidak menyendiri. Mereka sering berhubungan dengan yang lain terutama dalam masalah dakwah dan pengembangan agama.
Dialog antarulama dari berbagai tipe ini dilakukan untuk saling mengisi kekurangan yang ada dalam memimpin umat. Adapun yang menyatukanmereka adalah mereka sama-sama masih merasa menjadi ‘Warosatul Anbiya’ , dengan segala konsekuensinya.