REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahore merupakan kota kedua terbesar di Pakistan. Ibu kota provinsi Punjab ini juga dikenal sebagai kota budaya sejak ribuan tahun lampau. Konon, Lahore berperan sebagai pusat budaya India bagian utara yang membentang dari Kota Peshawar di barat hingga New Delhi di timur. Kota ini, juga sempat menjadi salah satu titik perdagangan jalur sutra di masa lalu.
Setelah Islam masuk ke kawasan Asia Selatan, Lahore berkembang menjadi kota tujuan bagi para penuntut ilmu untuk belajar agama. Kota ini juga menjadi saksi dari sisa-sisa kejayaan Kerajaan Islam Mughal. Kerajaan Mughal, yang mencapai puncak kejayaan antara tahun 1524 hingga 1752, menjadikan Kota Lahore begitu cantik dengan taman, istana, dan masjid-masjid yang memiliki arsitektur khas. Sebut saja salah satunya Masjid Badshahi yang dibangun pada 1673 dan hingga kini masih berdiri megah.
Setelah Islam tidak lagi berkuasa, yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Dinasti Mughal, beberapa bangunan masjid yang pernah dibangun pada masa Pemerintahan Dinasti Mughal mengalami alih fungsi menjadi gereja, pura, ataupun bangunan lainnya. Termasuk di antaranya adalah Masjid Badshahi.
Pada masa Pemerintahan Maharaja Ranjit Singh, penguasa Sikh di Punjab, bangunan Masjid Badshahi mengalami kerusakan dan alih fungsi. Keempat kubah di atas empat menara masjid tersebut oleh orang-orang Sikh dihancurkan dan digunakan sebagai tempat untuk meluncurkan meriam. Sementara, bangunan masjidnya dijadikan sebagai tempat untuk menaruh kuda-kuda pasukan Ranjit Singh dan juga digunakan sebagai gudang penyimpanan mesiu dan persenjataan.
Ketika Inggris menguasai India, mereka menggunakan Masjid Badshahi dan Benteng Lahore sebagai pangkalan militer. Kebencian kolonial Inggris terhadap Muslim India juga mendorong mereka untuk menghancurkan sebagian besar dinding masjid sehingga umat Islam tidak bisa menggunakan bangunan masjid ini sebagai 'benteng' anti Inggris.
Namun, dalam perkembangan berikutnya pemerintah kolonial Inggris menyerahkan bangunan Masjid Badshahi kepada masyarakat Muslim Lahore. Pihak otoritas Masjid Badshahi kemudian mengembalikan fungsi bangunan masjid tersebut sebagai tempat ibadah umat Islam.
Sejak 1852, pihak otoritas Masjid Badshahi melakukan perbaikan secara bertahap terhadap sejumlah kerusakan yang terdapat pada bangunan masjid. Perbaikan secara menyeluruh untuk mengembalikan kondisi masjid ke bentuk aslinya baru dilakukan pada 1939 hingga 1960. Untuk keperluan perbaikan ini, otoritas Masjid Badshahi menyiapkan cetak biru (blue print) yang dibuat oleh arsitek Nawab Zen Yar Jang Bahadur. Pengerjaan perbaikan tersebut menelan biaya sekitar 4,8 juta Rupee.
Pada kesempatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam kedua yang berlangsung di Lahore pada 22 Februari 1974, Masjid Badshahi menjadi tempat diselenggarakannya shalat Jumat bagi 39 kepala negara peserta KTT Islam. Mawlana Abdul Abdul Qadir Azad, imam Masjid Badshahi, ditunjuk sebagai khatib shalat Jumat.
Pada 2000, kembali dilakukan renovasi terhadap bangunan Masjid Badshahi. Perbaikan kali ini untuk mengganti potongan keramik pada bagian utama kubah. Pada 2008 lalu, kembali dilakukan pekerjaan penggantian ubin pada bagian halaman masjid dengan menggunakan material batu merah yang diimpor langsung dari sumber aslinya di Rajasthan, India.