REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada abad ke-15, terdapat seorang ahli bedah Kekaisaran Turki Usmani yang terkenal, bernama Serafeddin Sabuncuoglu. Ia menulis sebuah buku berjudul Jarrahiya Ilhaniye pada 1465. Buku ini, sebenarnya merupakan terjemahan Al-Tashrif karya seorang dokter, Zahrawi.
Buku yang ditulis Sabuncuoglu, memberikan kontribusi besar bagi perkembangan metode khitan. Dalam buku itu dijelaskan secara perinci bagaimana teknik mengkhitan yang benar. Pun dilengkapi dengan ilustrasi yang mengambarkan pelaksanaan khitan.
Selain itu, dalam buku ini juga digambarkan sejumlah peralatan yang digunakan untuk mengkhitan. Salah satunya, gunting khusus dengan pisau agak bengkok untuk keperluan khitan. Salinan karya ini, terdapat di Perpustakaan Fatih Millet, Turki.
Sabuncuoglu, dalam bukunya itu, merekomendasikan agar anak yang dikhitan dalam keadaan sehat, termasuk bagian tubuh yang akan dikhitan. Ia menyarankan teknik pemotongan kulit pada organ yang dikhitan agar tak ada aliran darah dan kelenjar yang terluka.
Di sisi lain, Sabuncouglu pun menjelaskan mengenai bahan apa saja yang dapat digunakan dalam perawatan anak yang dikhitan. Ia menuliskan penggunaan abu labu kering atau tepung putih halus sebagai obat luka akibat khitan.
Untuk merawat luka, kuning telur dimasak dengan air mawar, tanah dan minyak mawar. Lalu balurkan pada luka hingga keesokan harinya. Luka itu juga diberi obat-obatan lain sampai sembuh. Ia pun mengungkapkan mengenai berbagai komplikasi yang sering terjadi selama khitan.
Sabuncouglu memberikan sejumlah saran kepada para ahli khitan jika terjadi sejumlah komplikasi. Misalnya, perawatan yang perlu dilakukan jika organ vital yang dikhitan mengalami pembengkakan. Ia mendorong ahli bedah memiliki pengetahuan yang mendalam tentang organ tubuh.
Tanpa adanya pengetahuan semacam itu, jelas Sabuncouglu, ahli bedah yang melakukan khitan diyakini tak akan mampu melaksanakan pengkhitanan dengan baik.