REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adanya renovasi telah mengubah Masjid Laweyan dari bentuknya semula. Akan tetapi, kata dosen arsitektur Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Alpha Febela Priyatmono, renovasi yang dilakukan tidak memiliki konsep yang jelas sehingga menghilangkan bentuk asli bangunan.
Alpha menyatakan, hingga saat ini arsitek yang merancang Masjid Laweyan pun tidak pernah jelas. Alpha menilai, perubahan arsitektur masjid hanya menggunakan kesepakatan dari masyarakat sebelumnya.
Menurutnya, akibat sejumlah perubahan dalam masjid itu mengakibatkan hilangnya nilai sejarah masjid. Teknik perekatan dinding yang semula menggunakan tanah, telah diubah dengan semen. Penggunaan tegel sebagai bahan lantai, saat ini telah diubah dengan keramik. Konservasi di Masjid Laweyan ini salah urus, seharusnya yang dilakukan pre-servasi sehingga tidak mengubah bentuk asli bangunan,” ujarnya.
Penambahan sejumlah elemen bangunan juga telah mengubah bentuk asli bangunan. Dikatakan Alpha, bentuk dua gerbang di sisi kanan-kiri depan masjid sebenarnya baru ada ketika ada renovasi dari PB X. Sekarang yang masih utuh tinggal atap dan tiangnya saja,” ungkap Alpha.
Ia menambahkan, perubahan bentuk Masjid Laweyan tidak menunjukkan keterpaduan. Hal ini lantaran sosialisasi sejarah di masyarakat Laweyan sangat lambat. Ada rencana, kami akan merekonstruksi ulang masjid. Itu jadi tugas kami, karena sebenarnya Masjid Laweyan ini memiliki sejarah yang kuat,” terangnya.
Senada dengan Alpha, juru kunci (kuncen) makam Ki Ageng Henis, Guntoro Adiyanto, mengatakan, setiap ada perubahan dalam bangunan Masjid Laweyan, tidak pernah ada desain sebelumnya. Renovasi Masjid Laweyan bisa dikatakan amburadul, karena hanya menurut kecocokan dan selera masyarakat. Kalau dianggap bagus, ya diubah begitu saja,” ujarnya.