REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi menyatakan, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi ditandatangani ketua MA, Hatta Ali pada Rabu (28/12). Perma itu akan dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk diundangkan.
"Sekarang sedang proses perundang-undangan. Karena ini Perma, harus diundangkan oleh Kemenkumham. Sejak itulah nanti mulai berlaku," kata Suhadi usai konferensi pers refleksi akhir tahun Mahkamah Agung di Gedung MA, Rabu (28/12).
Suhadi mengatakan, MA berharap Perma tersebut sudah bisa diberlakukan pada akhir tahun ini. Walaupun waktu untuk mengundangkan Perma itu tidak lebih dari tiga hari lagi. "Pemberlakuan Perma soal korporasi diharapkan berlaku pada tahun ini. Tinggal dua hari lagi. Hari ini penandatanganan ketua MA. Diundangkan terlebih dulu nanti," kata dia.
Suhadi menjelaskan, Perma itu nantinya bisa menjerat suatu korporasi yang diketahui menjadi bagian dari tindakan pidana korupsi. Model penjeratannya bisa dengan pengenaan denda dan juga penyitaan aset.
Tidak hanya itu, orang yang berada di balik korporasi itu, termasuk pihak yang mengendalikannya, juga akan bisa dipidana. Korporasi dalam penjeratan pidana ini menjadi subyek hukum. Melalui Perma tersebut, diatur tentang tata cara penjeratan korporasi yang berbeda dengan cara penjeratan pihak individu. "Kalau memidanakan individu, kan ada jenis kelamin, agama, dan identitas lainnya. Kalau korporasi tidak punya jenis kelamin, berbeda, ini yang diatur," kata dia.
Suhadi juga menuturkan, pemberlakuan Perma ini untuk kasus-kasus terbaru yang melibatkan korporasi. Secara hukum, Perma tersebut tidak berlaku surut dan diterapkan untuk kasus-kasus yang akan terjadi di waktu mendatang.
Ketua MA Hatta Ali mengatakan, korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tentu tidak akan dikenakan hukuman pidana badan sebagaimana penjeratan pidana bagi individu yang terbukti bersalah. Namun, pengurus atau direksi yang menjalankan suatu korporasi dengan melakukan tindak pidana korupsi, bertanggungjawab atas pidananya sendiri dan pidana yang dilakukan oleh korporasinya.
"Korporasi bisa diwakili pengurusnya berupa direktur utama, biasanya direksinya. Jadi direksi bisa bertindak bertanggung jawab atas pidana dia sendiri dan bertanggung jawab atas pidana yang dilakukan oleh korporasinya," ujar dia. Sanksinya, dengan pengenaan denda atau dengan penyitaan aset korporasi yang bersangkutan untuk menutup kerugian negara.