REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tidak mengabulkan tuntutan jaksa soal pencabutan hak politik kepada terdakwa kasus suap Mohamad Sanusi. Dalam putusannya, hakim hanya mengabulkan tuntutan pidana pokok yakni tujuh tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider dua bulan.
Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah tuntutan pencabutan hak politik memang diinisiasi kepada pelaku korupsi yang berasal dari lembaga politik baik, DPRD, DPD, maupun DPD.
"Bagi KPK pencabutan hak politik sanksi untuk memberikan efek jera untuk tidak melakukan korupsi sektor politik karena banyakr risiko dan kerugian yang dialami masyarakat oleh orang-orang yang pernah terpidana kasus korupsi di dunia politik," katanya di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (29/12).
Sebab aturan saat ini memungkinkan mantan narapidana bisa kembali berkontestasi politik dalam Pemilu. Sehingga, terbuka lebar bagi narapidana korupsi untuk terpilih kembali.
"Harapan KPK jajaran MA punya mind-set bersama-sama untuk memberantas korupsi sektor politik dan pencabutan ini diatur dalam UU Tipikor, dan KPK hampir selalu mengajukan tuntutan itu kepada terdakwa yang ada risiko pihak yang diwakili akan melakukan perbuatan korupsi," ujarnya.
Adapun secara umum, KPK belum memutuskan langkah yang diambil terkait putusan vonis kepada mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta itu. Apakah akan menerima putusan atau banding.
"Sudah koordinasi dengan tim penuntutan, akan pelajari lebih dulu yang pasti ada sejumlah tuntutan yang menurut KPK yakini benar dan bisa dibuktikan dan belum bisa diterima hakim," jelasnya.
Sebelum, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi pidana tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juta dengan subsider dua bulan kurungan penjara.
Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 10 tahun penjara dengan denda sebesar Rp500 juta dengan subsider empat bulan penjara. Selain itu, jaksa juga meminta hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih lima tahun setelah menjalani pidana pokok. Namun, ternyata majelis hakim tidak sependapat dengan pencabutan hak politik tersebut.