REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Gencatan senjata antara pasukan Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi negara itu telah dimulai pada Kamis (29/12) tengah malam waktu setempat. Namun, gencatan dilaporkan sempat terhenti sementara waktu terhenti karena adanya pelanggaran ringan antara masing-masing pihak.
Bentrokan terjadi di wilayah antara Provinsi Hama dan Idlib, dekat dengan Ibu Kota Damaskus. Terdapat baku tembak antara oposisi dan pasukan pemerintah di sepanjang perbatasan wilayah.
Meski demikian, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia melaporkan keadaan di sana dan wilayah lainnya yang termasuk dalam kesepakatan kembali tenang. Gencatan senjata kembali diteruskan dan terlihat situasi yang saat ini lebih kondusif.
Dengan diteruskannya gencatan senjata, kedua belah pihak yang berkonflik di Suriah juga akan melakukan pembicaraan damai di Kazakhstan. Rencananya hal itu dilangsungkan bulan depan.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kesepakatan gencatan senjata yang diikuti pembicaraan damai memang terlihat cukup rapuh. Namun, bukan berarti tidak ada harapan untuk menghentikan konflik secara keseluruhan di Suriah. Hanya saja, dibutuhkan perhatian khusus serta kesabaran.
Kesepakatan ditengahi oleh Rusia yang menjadi sekutu utama Pemerintah Suriah dan Turki yang berada di sisi bersebrangan. Gencatan senjata menjadi bagian dari upaya mengakhiri pertumpahan darah di salah satu negara Timur Tengah itu selama hampir enam tahun.
Baca juga, Pasukan Assad Kuasai Aleppo.
Sejumlah kelompok oposisi telah menandatangani perjanjian. Beberapa pemmpin kelompok, salah satunya Tentara Pembebasan Suriah (FSA) mengakui adanya keepakatan dan mengatakan akan mematuhi gencatan senjata.
"Kali ini saya lebih yakin adanya keseriusan untuk mewujudkan perdamaian sebenarnya," ujar salah satu komandan FSA, Fares Al Bayoush.