REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini (SHT) sebagai tersangka pasca tangkap tangan pada Jumat (30/12) kemarin. Bersama dengan itu, KPK juga menetapkan seorang PNS Kabupaten Klaten, Suramlan (SUL) sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengisian sejumlah jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten.
"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam dan gelar perkara, KPK meningkatkan status perkara ini ke penyidikan bersamaan penetapan sementara dua tersangka yakni SHT dan SUL," ujar Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (31/12).
Syarif menyebut untuk tersangka Sri Hartini ditetapkan sebagai pihak yang menerima suap. Sementara untuk Suramlan sebagai pemberi suap. Pemberian suap berkaitan dengan pengisian, promosi dan mutasi jabatan di Pemkab Klaten.
Keduanya merupakan bagian dari delapan orang yang diamankan pada tangkap tangan. Yakni empat PNS lainnya Nina Puspitarini (NP), Bambang Teguh (BT), Slamet (SLT) dan Panca Wardhana (PW) serta dua swasta Sukarno (SKN) dan Sunarso.
Ia menjelaskan penangkapan kepada delapan orang tersebut diawali dengan penangkapan kepada Sukarno di kediamannya dimana tim mengamankan uang Rp 80 juta. Kemudian, 15 menit berselang, tim menuju rumah dinas Bupati Klaten mengamankan tujuh orang lainnya.
"Dari rumah dinas diamankan uang sekitar 2 miliar, dan dalam pecahan rupiah dan valuta asing, ada USD 5700 dan SGD 2.035 dollar," kata Syarif.
Namun enam orang lainnya, sementara saat ini masih berstatus sebagai saksi.
Atas perbuatannya, KPK menetapkan Sri Hartini sebagai penerima suap dan disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP
Sementara Suramlan sebagai pihak pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).