REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand perlu menunda pemilihan umum, yang direncanakan berlangsung tahun ini, hingga 2018 untuk memberikan waktu alur hukum, kata anggota majelis nasional pemerintah militer pada Senin.
Namun, juru bicara lain mengatakan bahwa jadwalnya masih tetap berlaku untuk tahun ini seperti yang ditentukan sebelumnya guna mengembalikan pemerintahan sipil. Penguasa menggulingkan pemerintah terpilih pada 2014 demi menenangkan negara, yang terpecah-belah pertikaian lebih dari 10 tahun antara militer kerajaan dengan pasukan populis.
Anggota Majelis Legislatif Nasional (NLA) dari militer Somjet Boonthanom yang ditunjuk, mengatakan kepada Reuters pemilihan umum diperkirakan diundur hingga Maret atau April 2018. "Itu bukan penundaan namun karena liku-liku dalam undang-undang pemilihan umum, kegiatan itu tidak akan dilaksanakan pada tahun ini," kata dia.
Hingga saat ini, penguasa mengatakan masih mengacu kepada rencana pemilihan umum, yang dijadwalkan diadakan pada akhir 2017. "Sejauh pemerintah memikirkannya, kami berada di jalan yang telah ditentukan. Pendapat dari NLA merupakan milik mereka sendiri," kata Mayor Jenderal Sansern Kaewkamnerd, juru bicara kantor perdana menteri.
Militer Thailand berhasil melancarkan 12 kudeta sejak 1932. Langkah berikutnya dalam peralihan kembali pemerintahan rakyat adalah Raja baru, Yang Mulia Maha Vajiralongkorn untuk mengesahkan undang-undang dasar, yang disepakati dalam referendum tahun lalu. Sejumlah kritikus berpendapat ketentuan dalam undang-undang dasar itu akan memperkuat cengkeraman militer, bahkan setelah pemilihan umum berakhir.