Selasa 03 Jan 2017 15:43 WIB

Hotel Bertarif tak Wajar Jadi Perhatian PHRI Yogya

Rep: Yulianingsih/ Red: Indira Rezkisari
Aktivitas pengunjung di sebuah hotel di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Selasa (13/12). Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY okupansi hotel di Yogyakarta meningkat dipicu tingginya kunjungan wisatawan untuk menikmati libur panjang
Foto: Antara
Aktivitas pengunjung di sebuah hotel di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Selasa (13/12). Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY okupansi hotel di Yogyakarta meningkat dipicu tingginya kunjungan wisatawan untuk menikmati libur panjang

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tingkat hunian hotel atau okupansi hotel selama libur akhit tahun 2016 dan tahun baru 2017 di Yogyakarta cukup tinggi. Bahkan semua hotel bintang di Kota Yogyakarta penuh dan menolak tamu terutama di kawasan Ring I (sekitar Malioboro). 

Hotel melati juga penuh diisi para wisatawan baik lokal maupun manca negara. Namun begitu, DPR Perhimpunan HOtel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY merasa khawatir dengan banyaknya hotel yang menaikkan tarif sangat tinggi bahkan dinilai kurang wajar. Karena ada hotel yang memberikan tambahan surcharge antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per kamar terutama saat pergantian tahun. 

"Ini yang membuat kita khawatir, was-was takutnya wisatawan kapok ke Yogya lagi, apalagi di hotel Ring I tarif batas atas memang sulit dikendalikan, permintaan banyak," ujar Ketua DPD PHRI DIY, KRHT Istidjab M Danunagoro ditemui di Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Selasa (3/1).

Menurutnya, pengusaha hotel di DIY memang sudah membuat kesepakatan untuk mematok batas bawah untuk penerapan tarif hotel. Hal ini dilakukan agar tidak ada perang tarif yang tidak sehat antar hotel. Namun kata dia, memang tidak ada kesepakatan untuk memasang patok batas atas pada penerapan tarif hotel di DIY. Karenanya, penerapan tarif batas atas ini tidak bisa dikendalikan apalagi saat tingginya permintaan.

Istidjab mengatakan, jika saat permintaan tinggi pihak hotel tidak memberlakukan diskon dan menambah biaya (surcharge) pada konsumen itu hal yang wajar. Akan tetapi kata dia, jika tambahan biaya itu diterapkan cukup tinggi juga dianggap tidak wajar. Hal inilah yang dikhawatirkan akan merusak citra pariwisata Yogyakarta. "Untuk suite room memang fasilitasnya lain, namun surcharge terlalu tinggi juga membuat was-was," ujarnya. Karenanya dalam waktu dekat pihaknya akan mengumpulkan para pengusaha hotel di Yogyakarta dan membahas masalah tersebut.

Diakuinya, berdasarkan evaluasi sementara pada okupansi hotel di Yogyakarta diketahui bahwa maraknya pembangunan hotel ternyata tidak berimbas signifikan pada melorotnya tingkat hunian hotel di Yogyakarta. Meski jumlah hotel berbintang naik 100 persen jumlahnya namun tingkat okupansi hotel di Yogyakarta selama Desember 2016 ini juga tinggi atau naik 10 persen dari libur akhir tahun 2015 lalu.

Rata-rata tingkat hunian hotel di Ring I selama Desember mencapai 80 persen, sementara 2015 lalu sekitaran 70-75 persen saja. Hotel-hotel Ring II mencapai 70 persen dan hotel di Ring III mencapai 60 persen. Hotel non bintang tingkat okupansinya rata-rata 40 persen. Jumlah hotel bintang di DIY sendiri hingga Desember 2016 mencapai 119 hotel bintang dengan jumlah kamar 11.380 kamar. saat ini masih ada 27 hotel bintang yang masih dalam proyek pembangunan dan diperkirakan selesai akhir 2017 dengan jumlah kamar 4.400 kamar.

Jumlah hotel non bintang sebanyak 1.067 hotel dengan jumlah kamar 13.600 kamar. Selain itu hotel bintang juga membina 20 desa wisata di DIY. Hotel ini bekerjasama dengan desa wisata jika ada tamu banyak akan dilimpahkan ke desa wisata yang memang sudah banyak yang memiliki home stay. Okupansi desa wisata juga sangat tinggi saat libur akhir tahun kemarin.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement