REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sengketa kepemilikan tanah di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Denpasar Selatan berakhir dengan eksekusi. Sebanyak enam bachoe yang dikerahkan PN Denpasar, meratakan 36 rumah di kampung itu. “Kami menyayangkan pelaksanaan eksekusi yang sangat brutal,” kata sejarawan I Putu Gde Suwitha SU, Selasa (3/1).
Di sela-sela pelaksanaan eksekusi, Suwitha menyebutkan, eksekusi dengan merobohkan rumah sekampung, baru pertama kali terjadi di Bali. Eksekusi itu dinilainya tidak patut, mengingat Kampung Bugis Serangan punya nilai historis dan budaya yang kaitannya sangat mendalam dengan keberadaan Kota Denpasar.
Kampung Bugis Serangan berdiri di atas tanah sekitar 18 ribu meter persegi. Kampung ini dihuni sekitar 100 KK. Seluas 9.400 meterpersegi tanah di kampung itu ditempati oleh 36 KK warga setempat.
Sementara eksekusi 36 rumah di Kampung Bugis Serangan dilakukan menyusul kemenangan Maisaroh atas 36 KK yang menempati lahan seluas 9.400 meter persegi itu. Sengketa itu sudah bergulir lebih dari 35 tahun dan akhirnya Maisaroh menang di tingkat kasasi.
Salah seorang tokoh Bugis Serangan, Ahmad Sastra mengatakan, walau pun putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap, semestinya eksekusi bisa ditunda. Salah seorang pengurus ICMI Orwil Bali itu mengatakan, masyarakat akan mengajukan bukti baru, bahwa mereka lebih berhak atas tanah yang mereka tempati. “Tapi intinya kami terus melakukan perlawanan,” kata Ahmad Sastra.
Sementara itu pelaksanaan eksekusi Kampung Bugis Serangan diwarnai dengan tangisan histeris warga yang rumahnya dirobohkan. Salah seotang warga yang sudah uzur, Abdul Rozak (95), harus digotong ke tempat pengungsian. Anak-anak kecil yang tidak tahu apa yang terjadi, merengek pada ayahnya minta pulang ke rumah. “Mau pulang kemana, rumah kita sudah dirobohkan,” kata seorang pria sambil mengelus kepala seorang bocah.
Aksi eksekusi berlangsung sekitar dua jam. Sekitar 11.00 wita, bachoe mulai bergerak dan sekitar 13.00 WITA, tanah sengekata sudah rata dengan tanah. Eksekusi bangunan di atas yang disengketakan hanya menyisakan dua bangunan, yakni rumah panggung yang menjadi cagar budaya dan satu bangunan Posyandu.