REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram, Nusa Tenggara Barat, menunda sidang Gatot Brajamusti dan istrinya Dewi Aminah hingga Kamis (5/1) mendatang. "Kami berikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyampaikan tanggapannya pada Kamis (5/1) mendatang," kata Yapi sebelum menutup sidang kedua terdakwa penyalahguna narkotika jenis sabu-sabu Gatot Brajamusti dan istrinya Dewi Aminah di Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram, Selasa (3/1).
Sidang yang dipimpin Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram Dr Yapi tersebut, memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat untuk menanggapi terkait eksepsi (keberatan) yang telah dibacakan terdakwa melalui pengacaranya.
Sebelumnya, kedua terdakwa melalui pengacaranya di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Mataram pada Selasa (3/1) siang, mengutarakan eksepsinya. Salah satu poin penting yang menjadi alasan terdakwa melalui pengacaranya mengajukan eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), adalah penggeledahan dan penyitaan sejumlah barang bukti yang dilakukan penyidik kepolisian di Jakarta Selatan.
Pengacara mengklaim tahap penggeledahan dan penyitaan barang bukti itu tidak sah, karena tidak melalui prosedur hukum yang tepat. Seharusnya, penyidik kepolisian terlebih dahulu meminta izin kepada ketua pengadilan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan di Jakarta Selatan.
"Penggeledahan dan penyitaan di Jakarta Selatan itu tanpa didasari dengan surat izin dari ketua pengadilan. Oleh karena itu segala proses lanjutannya menjadi tidak sah, karena syarat mutlaknya itu harus ada izin dari ketua pengadilan," kata Irfan Suryadiata, salah seorang pengacara Gatot Brajamusti dan istrinya Dewi Aminah.
Hal itu disebutkannya sesuai dengan aturan KUHAP yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat 1 KUHAP. "Jadi segala hasil penggeledahan dan penyitaan di Jakarta Selatan, tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti untuk diajukan ke meja persidangan," kata Irfan.
Terkait dengan aturan KUHAP tersebut, Irfan mengaku ada hal yang menjadi pertimbangannya agar penggeledahan dan penyitaan dapat dilakukan tanpa harus melalui izin ketua pengadilan. Namun pertimbangan itu dinilainya tidak bisa menjadi dasar penyidik untuk tidak meminta izin melakukan penggeledahan dan penyitaan dari ketua pengadilan.
"Dalam hal-hal tertentu sebenarnya bisa, tapi terkait dengan kasus ini tidak ada yang dapat memenuhi ketentuan dari pasalnya. Jadi barang hasil penggeledahan dan penyitaan di Jakarta Selatan tidak bisa dijadikan barang bukti dalam persidangan," ujanya.