REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto mengatakan buku berjudul "Jokowi Undercover" hanya memuat hal-hal yang beredar di media sosial. Di dalam buku itu, sama sekali tidak ada proses cek dan ricek dan tidak mencocokan dengan sumber-sumber yang otentik.
"Jadi kita anggap, buku ini sama juga dengan mencemarkan nama seseorang," kata Rikwanto di kantor Humas Polri, Jakarta, Selasa (3/1) siang.
Menurut Rikwanto, berdasarkan hasil penyidikan, konten dalam buku tersebut memuat hal-hal yang berbau unsur Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). "Penyidik kan membaca. Di dalamnya ada konten-konten yang mengarah ke situ (SARA), pendalamannya berjalan tapi ada mengarah ke situ," ujarnya.
Rikwanto menjelaskan, tersangka pengarang buku tersebut, Bambang Tri Mulyono, pernah mencoba menerbitkan bukunya itu melalui penerbit tertentu. Namun, ditolak karena isi bukunya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Karena ini berkaitan dengan kepala negara dan banyak orang, harus ada ketegasan ini buku benar apa tidak. Nah setelah diselidiki, ternyata tidak, karena dia banyak menyebarkan kebohongan di situ (bukunya)," jelasnya.
Kepolisian masih belum mengetahui ada berapa jumlah yang telah tercetak. Jumlah buku yang tercetak dan beredar di masyarakat masih dilacak kepolisian. Kepolisian pun hanya memegang satu buku sebagai barang bukti. Penarikan buku tersebut juga masih belum bisa dilakukan karena masih harus menelusuri jumlah buku yang telah beredar.
"Jumlah bukunya masih kita lacak. Pemeriksaan masih berlanjut. Kita cari dulu berapa banyak dan menemukan berapa (orang) yang telah menerima," ucapnya.
Sementara itu Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan penelusuran terhadap kasus buku "Jokowi Undercover" itu telah dilakukan sejak awal Desember 2016 lalu. Proses penelusuran dilakukan selama sebulan dengan menyelidiki akun facebook atas nama Bambang Tri.
Dari penyelidikan itu, diketahui Bambang sudah menulis sejumlah buku sejak 2014. Dalam pengumpulan barang bukti, polisi juga telah memeriksan beberapa ahli, baik itu ahli pidana, ahli di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ahli bahasa, sosiologi dan ahli sejarah.
"Karena di buku ini disampaikan tentang berbagai informasi yang terjadi di masa lalu. Dan sebagai salah satu alat bukti itu keterangan ahli sejarah," katanya lagi.
Kesimpulan yang diperoleh kepolisian hingga kini, konten buku tersebut tidak didasarkan pada data primer dan sekunder yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itulah, dugaan hukum pun jadi menguat.
Tersangka Bambang, papar Boy, diduga melakukan upaya menebar kebencian. Tersangka pun memberikan pernyataan bahwa kepemimpinan Jokowi-JK itu muncul dari keberhasilan media massa dan lewat kebohongan kepada publik. "Jadi ini rangkaian kata yang sifatnya merupakan ujaran kebencian," ucapnya.