REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Parlemen Turki menyetujui mosi yang mendukung pemerintah untuk memperpanjang status darurat selama tiga bulan, pada Selasa (3/1). Status darurat diberlakukan sejak 15 Juli lalu, saat kudeta gagal dilakukan terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Status darurat sebelumnya dijadwalkan akan berakhir pada 19 Januari mendatang. Selama Turki berada dalam status darurat, puluhan ribu orang telah kehilangan pekerjaan dan ditangkap karena diduga mendukung kudeta.
Ankara berpendapat, status darurat diperlukan untuk membasmi pengaruh Fethullah Gulen di lembaga-lembaga Turki. Pemerintah Turki menyalahkan Gulen atas kudeta kudeta yang gagal, namun Gulen membantah tuduhan tersebut.
Status darurat Turki, yang siap diteruskan menjadi sembilan bulan, menimbulkan sedikit masalah bagi Uni Eropa. Uni Eropa khawatir status darurat akan digunakan untuk memberikan tindakan keras bagi siapapun yang mengkritik Erdogan, bukan hanya mengamankan komplotan pendukung kudeta.
Menurut angka terbaru yang dilaporkan kantor berita Anadolu, lebih dari 41 ribu orang telah ditangkap atas dugaan memiliki keterkaitan dengan Gulen. Sementara itu, lebih dari 103 ribu orang sedang dalam penyelidikan.
Status darurat memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk memecat pegawai negara dan menutup asosiasi, termasuk kelompok media. Status darurat juga memperpanjang waktu penahanan tersangka di penjara tanpa dikenakan biaya.
Baca juga, Ini Pelaku Serangan di Kelab Malam Turki yang Pakai Topi Santa.
Pada November lalu, Erdogan sudah mengisyaratkan status darurat akan diperpanjang. Keputusan itu memukul telak Parlemen Eropa yang membekukan perundingan dengan Turki selama dalam keadaan darurat.
"Apakah Parlemen Eropa bertanggung jawab atas negara ini atau pemerintah yang bertanggung jawab?" ujar Erdogan saat itu.
Dia mencatat, Prancis juga telah memberlakukan status darurat setelah terkena serangkaian serangan teror pada 2015 lalu.