REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Anang Sujoko, mengatakan, media Islam selama jelas penanggungjawabnya dan jelas pula sumber hukum kontennya, semestinya tidak langsung diblokir. Tetapi, kata dia, seharusnya ada upaya-upaya pembinaan.
Anang mengatakan, dengan pertimbangan ujaran kebencian jangan serta-merta memblokir situs media agama. Nanti, kata Anang, akan membiarkan paham-paham nonagama berkembang liar.
"Media-media Islam sendiri seharusnya introspeksi diri untuk lebih mengutamakan efektivitas peran sebagai media penegak nilai yang harus dibawanya, bukan pada sensasional saja," katanya, Rabu (4/1).
Anang mengatakan, konteks ujaran kebencian harus jelas. Menurut dia, jika ujaran tersebut disampaikan dalam menyemangati dakwah dan berdasar pada kitab suci semestinya tidak masuk kategori ujaran kebencian.
"Demikian juga jika seorang pendeta menyampaikan kutbah ke jamaahnya, mestinya dibedakan," katanya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Noor Iza mengatakan, pihaknya saat ini masih dalam proses komunikasi di internal terkait pemblokiran 11 situs Islam. Ke 11 situs Islam yang diblokir tersebut diklaim memuat isu fitnah, SARA, dan ujaran kebencian kepada masyarakat.
Adapun ke-11 situs Islam yang sempat dikabarkan diblokir tersebut, di antaranya voa-islam.com, nahimunkar.com, kiblat.net, bisyarah.com, dakwahtangerang.com, islampos.com, suaranews.com, izzamedia.com, gensyiah.com, muqawamah.com, dan abuzubair.net.
Dasar dari pemblokiran terhadap situs yang dianggap mengandung konten negatif itu merujuk kepada Undang-Undang (UU) ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang baru, Nomor 19 Tahun 2016 dari perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008.