Rabu 04 Jan 2017 19:00 WIB

Masjid Jum’ah Wekande, Bukti Kiprah Muslim Nusantara di Sri Lanka

Masjid Jumah Wekande
Foto: blogspot.com
Masjid Jumah Wekande

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia ternyata memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di Sri Lanka. Setidaknya ada empat masjid di Sri Lanka yang ada hubungannya dengan orang Indonesia.

Salah satunya adalah Masjid Jum’ah Wekande. Berusia 232 tahun, masjid ini adalah masjid tertua dan terbesar di Kolombo, bahkan Sri Lanka. Keberadaannya menjadi bukti kiprah Muslim Nusantara di negeri yang berpenduduk mayoritas beragama Buddha ini.

Masjid ini berada di Slave Island, Kolombo, Ibu Kota Sri Lanka. Slave Island ini bukanlah pulau dalam arti sebenarnya. Disebut pulau karena sebagian besar kawasan ini menjorok ke tengah Danau Beira, di sebelah selatan Benteng Kolombo, Sri Lanka.

Keberadaan komunitas Muslim berdarah Indonesia di Sri Lanka telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. Bagaimana orang-orang nusantara ini bisa berada di sana?

Mereka adalah para penentang penjajahan Belanda yang kemudian ditangkap dan dibuang ke Sri Lanka. Kala itu, Sri Lanka yang masih bernama Ceylon juga dicengkeram oleh kolonialisme Belanda. Belanda berkuasa di SriLanka selama 228 tahun dari tahun 1568 hingga tahun 1796.

Pada 1796, penjajahan Belanda di Sri Lanka berakhir seiring kekalahan Belanda atas Inggris. Selama menjajah Sri Lanka, Belanda menjadikan negeri ini sebagai salah satu tempat pembuangan para pejuang kemerde kaan Indonesia.

Nah, sejarah berdirinya Masjid Jum’ah Wekande di Kolombo pada abad ke-18 tak lepas dari peran seorang pejuang antipenjajahan Belanda di Indonesia yang bernama Pandan Bali. Ia adalah seorang Muslim yang berasal dari kalangan bangsawan kaya di Jawa. Pandan Bali tiba di negeri buangan ini bersama kontingen tentara Resimen Melayu bentukan Belanda yang akan ditempatkan di Sri Lanka.

Di negeri baru ini, Pandan Bali bertemu dengan Sabu Latif, bangsawan Indonesia yang juga dibuang Belanda ke Sri Lanka. Sabu Latif tiba ke Sri Lanka pada 1772 bersama ayahandanya, Raden Pramana Latif, dari Kesunanan Casar, Kalimantan Barat.

Lahan untuk membangun Masjid Jum’ah Wekande dibeli Pandan Bali dari seseorang bernama Jeynadien Marikar Sinna Cassien pada 1786 M (1201 H). Pandan Bali kemudian mewakafkan lahan seluas sekitar 2,5 hektare tersebut untuk kaum Muslimin dan mempercayakan amanah itu kepada Sabu Latif untuk pengelolaannya. Setelah mewakafkan lahan itu, Pandan Bali kemudian memprakarsai sekaligus mendanai pembangunan Masjid Jum’ah Wekande berikut taman pemakaman umum Muslim di sana.

Wakaf ini bermula dari nazar (janji) Pandan Bali kepada Allah SWT. Diceritakan, Pandan Bali yang menikah di Beruwala sangat mendambakan seorang anak. Ia pun ber nazar, jika Allah meng anu ge rahinya seorang anak maka ia akan mendiri kan sebuah masjid. Seorang bayi perempuan akhirnya lahir dan diberi nama Sariya Um ma. Maka, Pandan Bali pun menunaikan nazar itu.

Setelah masjid berdiri, Sabu Latif menjadi imam pertama. Sebutan untuk dia adalah Khateeb (khatib). Hingga kini, jabatan khatib secara tradisi dipegang oleh keturunannya.

Dalam situs www.wekande masjid.com dipaparkan, hal yang paling luar biasa dari Masjid Jum’ah Wekande adalah keberadaannya di tengah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang sangat tidak toleran terhadap perkembangan budaya dan agama.

Pada masa itu, Pandan Bali dan beberapa Muslim lainnya membuktikan keberanian luar biasa dengan membangun sebuah masjid. Sebuah keberanian yang mendorong perkembangan Islam di Sri Lanka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement