REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bursa Efek Indonesia meminta pemerintah mendorong perusahaan yang aset dan pendapatannya berasal dari dalam negeri untuk mencatatkan sahamnya melalui mekanisme penawaran umum perdana saham (IPO). Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan tidak elok jika pendapatan dan aset diraih di Indonesia, tetapi sahamnya tercatat di bursa luar negeri.
"Seluruh rakyat Indonesia juga harus menikmati ini. Saya meminta tolong pemerintah untuk memaksa mereka listed di sini," kata Tito.
Dia mengatakan sekitar 52 perusahaan dengan kategori itu terdapat di Indonesia. Jika sahamya tercatat di BEI nilainya mencapai sekitar Rp 400 triliun. Ia mengaku sudah menyampaikan daftar 52 perusahaan itu kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dari 52 perusahaan itu, ia mengatakan terdapat tiga perusahaan yang berminat untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Perusahaan itu bergerak di sektor pertambangan dan properti.
Tito Sulistio mengemukakan pemilik perusahaan itu merupakan warga negara Indonesia yang menggunakan nama asing. Ketiga perusahaan tersebut telah mencatatkan sahamnya di bursa saham Singapura, Malaysia, Sydney, dan New York.
Di luar tiga perusahaan tersebut, tutur dia, ada satu perusahaan yang terdaftar di Australia milik konglomerat Indonesia, Hary Tanoesudibyo, yang juga berniat mencatatkan sahamnya di BEI. "Tadinya, perusahaan HT (Hary Tanoesudibyo) itu listed di bursa Nasdaq AS, sekarang di bursa Perth, Australia, juga mau listed di BEI," katanya.
Tito mengatakan telah menemui Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Pandjaitan dalam rangka menjelaskan kondisi pasar modal dan masalahnya. Ada dua masalah saat ini, pertama adalah peringkat Indonesia karena merefleksikan kepercayaan investor. Dan kedua mengenai kerentanan likuiditas.
Saat ini peringkat Indonesia masih berada di level BB+ (double B plus) oleh Stadard & Poor's (S&P), padahal secara tata kelola manajemen fiskal serta relaksasi peraturan sudah dilakukan dan fundamental ekonomi Indonesia juga positif.