REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlu Pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tahapan-tahapan dan alasan secara perinci soal pemblokiran situs agar masyarakat bisa menerimanya.
"Pemerintah juga harus menghindari terjadinya 'chaos' di wilayah siber Tanah Air," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) kepada Antara di Semarang, Jumat (6/1).
Pratama cukup khawatir bila Pemerintah tidak cukup memberi ruang mediasi, bisa muncul prasangka buruk yang berakibat saling serang antarperetas, baik menyerang situs berita maupun akun media sosialnya.
Masalahnya, beberapa kali pemblokiran oleh Kominfo, menurut dia, ada beberapa situs yang secara isi tidak ada kaitan dengan tindakan teroris dan radikal, juga tidak menyebarkan ujaran kebencian.
Hal itulah yang ditakutkannya terjadi kembali sehingga sudah sepatutnya Pemerintah tetap bijak dan selektif dalam pemblokiran situs yang dianggap berbahaya. "Posisi kita juga cukup rawan karena di Indonesia belum ada Badan Cyber Nasional. Jadi, bila ada saling retas di antara beberapa kelompok di Tanah Air, aparat kepolisian praktis akan sangat kesulitan," ujarnya.
Oleh karena itu, Pramata menilai sudah tepat bila Presiden Jokowi memerintahkan segera pembentukan Badan Cyber Nasional. Menyinggung kembali soal pemblokiran, Pratama menilai langkah itu sangat baik guna menghindarkan masyarakat dari berita "hoax".
"Namun, jangan sampai karena kurangnya sosialisasi menjadikan ini sebagai area perang baru dari orang-orang yang jago di dunia maya," ujarnya.
Pratama juga memandang penting menghapus berita "hoax" di mesin pencari, seperti Google. Hal ini dilakukan banyak negara, salah satunya Jerman. Berita dan gambar yang sesatkan masyarakat, menurut Pratama, tidak hanya diblokir, tetapi juga dihilangkan dari mesin pencari di internet.