REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Yayasan Ciliwung Merdeka, Vera Wenny Soemarwi, mengatakan bahwa berdasarkan keputusan majelis PTUN, mengabulkan gugatan warga Bukit Duri kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, Pemerintah Kota (Pemkot)Jakarta Selatan, dan Satpol PP.
"Ini adalah bukti bahwa penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Selatan merupakan tindakan sewenang-wenang, melanggar hukum, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik," kata Vera dalam siaran persnya.
Karena itu, dia melanjutkan, warga Bukit Duri menuntut kepada Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Selatan untuk mematuhi putusan PTUN Jakarta. Pemprov DKI dan Pemkot Jakarta Selatan diharapkan segera mencabut objek sengketa a quo.
"Mengembalikan hak-hak atas tanah dan rumah warga yang telah dihancurkan dan atau memberikan ganti rugi yang senilai dengan tanah dan rumah warga Bukit Duri yang telah dirampas dan digusur," katanya.
Warga Bukit Duri merupakan korban penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Pemerintah menganggap Sungai Ciliwung sudah tidak normal, karena itu pemerintah berniat menormalkan Sungai Ciliwung.
Warga Bukit Duri protes terhadap tindakan tersebut. Apalagi, ketika penggusuran terjadi warga tengah menggugat Surat Peringatan tersebut ke PTUN dan rencana penggusuran tersebut ke PN Jakarta Pusat melalui gugatan perdata class action.
Di PTUN, warga menggugat pemerintah daerah karena menerbitkan SP 1, 2, dan 3. Kebanyakan warga tinggal di Bukit Duri sejak sebelum Indonesia merdeka. Warga sudah membangun rumah di pinggir Sungai Ciliwung sejak 1920-an.
Warga memiliki surat-surat Verponding, SPPT, akta jual beli, dan surat-surat lain yang menunjukkan mereka tinggal di atas tanah itu tidak secara illegal.
Terhadap kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri diakui oleh Majelis Hakim PTUN dalam pertimbangan hukumnya yang mengatakan bahwa tanah-tanah yang digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane merupakan tanah-tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun-temurun.
Majelis Hakim mengakui, kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 jo Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Alasan lainnya, penerbitan SP 1, 2, dan 3 bertentangan dengan izin lingkungan, izin kelayakan lingkungan, AMDAL, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres Nomor 71 Tahun 2012, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU HAM.