REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Surabaya mengindikasikan adanya persaingan tidak sehat terkait kenaikan harga cabai rawit yang cukup signifikan. Untuk mengetahui dan menyikapi kondisi harga cabai, KPPU melakukan sidak harga cabai di Pasar Wonokromo, Surabaya, Sabtu (7/1) pagi.
Kepala KPPU Kantor Perwakilan Daerah Surabaya, Aru Armando, mengatakan, sidak tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan kenaikan harga cabai yang signifikan, terutama cabai rawit. Sidak dilakukan serentak di seluruh Indonesia untuk mengetahui adanya indikasi praktek persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.
"Analisa awal ketika saya mendapat informasi awal dari petani ada sedikit kenaikan harga yang terlalu tinggi mekipun tidak ekstrem. Dari sisi petani jual di level Rp 65 ribu sampai Rp 68 ribu, kalau menurut kami harusnya normalnya dijual ke konsumen Rp 80 ribu maksimal Rp 85 ribu bukan Rp 100 ribu. Kalau dari Rp 65 ribu ke Rp 100 ribu keuntungan siapa yang dapat, bukan petani pastinya," katanya kepada wartawan.
Sidak tersebut juga untuk mengetahui apakah ada kesalahan kebijakan di level pusat maupun daerah. Misalnya jika permasalahan pada sisi distribusi, seharusnya pemerintah memberikan subdisi transportasi. Sehingga rantai distribusi bisa dipotong dari petani ke konsumen.
"Misalnya dari petani ke konsumen ada empat sampai enam channel distribusi kalau pemerintah mau bawa bisa memotong rantai distribusi. Harga pasti tertekan, dan potensi untuk adanya permainan dari tengkulak akan kami tindak," imbuhya.
Menurutnya, dari tahun ke tahun harga cabai selalu menyentuh Rp 100 ribu per kilogram. Meski demikian, berdasarkan informasi dari petani, beberapa daerah di Jatim akan melakukan panen raya. Sehingga diharapkan harga cabai segera turun.
"Kalau cabai ini kan waktu tanamnya tidak terlalu panjang, tidak sampai dua bulan bisa panen," ujarnya.