REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemanggilan beberapa orang untuk menjadi saksi terkait kasus dugaan makar yang dituduhkan kepada Rachmawaty Soekarno Putri dan kawan-kawan terus berjalan. Terakhir, kepolisian akan memanggil pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy sebagai saksi dalam kasus tersebut pada Senin (9/1).
Pengamat dari The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai ini menjadi indikator keseriusan penegak hukum menuntaskan kasus tersebut sekaligus bahwa isu makar bukan hanya isapan jempol. Tapi apakah faktanya benar demikian, ia berharap pengadilan yang adil akan membuktikan semuanya.
"Karena isu makar sudah sangat politis, publik berharap pihak penegak hukum untuk ekstra cermat dan hati-hati agar tidak blunder melahirkan sikon yang justru kontraproduktif," ujar Harits kepada Republika.co.id.
Kalau dirunut ke belakang, sejatinya munculnya kritik atau sikap "konfrontatif" dari beberapa individu atau kelompok motifnya adalah ketidakpuasaan terhadap status quo yang ada. Menjadi sah saja jika ada warga negara yang punya sikap kritis, karena itu artinya peduli dan tidak ingin melihat negeri ini acak kadul dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya.
Jadi, hari ini kebanyakan masyarakat punya kesadaran politik yang lebih baik dibanding masa orde baru. Karenanya rezim juga harus sadar, jika alergi dengan kritik maka alangkah lebih baiknya menghindari lahirnya kebijakan yang potensial membuat kontraksi sosial politik.
Menurut Harits, sikap dan kebijakan rezim yang dilihat dan dirasa oleh publik tidak adil dan tidak pro rakyat pasti potensial menjadi sumber kegoncangan politik. Oleh karena itu, rezim Jokowi dan aparatur penegak hukum harus proporsional bertindak menyikapi isu makar yang muncul di akhir tahun 2016 lalu.
"Jangan sampai terjadi abuse of power dalam rangka membungkam setiap sikap kritis publik kepada rezim saat ini," katanya. Dia menambahkan, publik cukup cerdas bisa menilai jika itu terjadi dan akumulasi sikap ketidakpuasaan dan rasa keadilan yang terciderai akan melahirkan turbulansi politik lebih serius.