REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah pun mengakui kejujuran Ka'ab bin Malik, penyair yang tak mengikuti perang Tabuk. Namun, sejak saat itu hingga 50 hari penuh berikutnya, Rasul melarang kaum Muslim berkomunikasi dengan Ka'ab. Dua Muslim lainnya, yang pernah ikut dalam Perang Badar, juga mengalami nasib serupa Ka'ab.
Selama 50 hari itu, Ka'ab merasa hidupnya tersiksa sangat berat. Rasulullah enggan melihat wajahnya. Seluruh kaum Muslim menghindari menjawab salamnya. Dalam kondisi demikian, Ka'ab menerima surat dari Raja Ghassan, salah satu pentolan kaum musyrik.
Dalam surat itu, Raja Ghassan mengajak Ka'ab bergabung dengannya lantaran Rasulullah sendiri sudah mengeksklusi Ka'ab. Bahkan, Rasulullah juga sempat memerintahkan ketiga pria itu, termasuk Ka'ab, menjauhi istri mereka masing-masing. Namun, jawaban Ka'ab untuk surat dari Raja Ghassan itu jelas: begitu surat itu selesai dibacanya, Ka'ab langsung melempar surat itu ke tungku api.
Demikianlah kesabaran dan keteguhan iman Ka'ab diuji. Begitu gembira hati Ka'ab ketika masa 50 hari itu usai. Saat itu, mereka bertiga diterima Rasulullah di masjid.
Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau bersabda dengan wajah yang berseri-seri karena gembira. 'Bergembiralah dengan hari terbaik yang terbaik yang pernah melewati hidupmu semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Apabila Rasulullah bergembira, wajahnya bersinar seolah-olah wajah beliau secerah rembulan.
Kemudian, turunlah surah at-Taubah ayat 117-119. Ayat ke-118, Allah menyebutkan ihwal tiga pria Madinah ini, termasuk Ka'ab bin Malik. Betapa suka cita perasaan Ka'ab mengetahui Allah tidak memasukkannya ke dalam golongan orang-orang fasik, yang sengaja meninggalkan gelanggang jihad dengan pelbagai dalih. Buah kejujurannya adalah diterimanya taubat Ka'ab oleh Allah.
Tidak ada sesuatu pun yang lebih menyedihkanku daripada aku mati lalu Rasulullah tidak sudi menshalatiku atau Rasulullah meninggal dunia sehingga aku tetap diperlakukan demikian (dieksklusi) oleh masyarakat, kata Ka'ab.