REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mendorong pengelolaan sungai dari hulu ke hilir dilakukan oleh satu badan atau lembaga. Selama ini, pengelolaan sungai dilakukan oleh beberapa badan sehingga kebijakannya kerap bertabrakan.
Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto mengatakan, pengelolaan wilayah sungai seharusnya menjadi satu manajemen sendiri, tidak bisa dipotong-potong secara kewilayahan. Pengelolaan Sungai Brantas di Jatim, lanjutnya, dilakukan oleh beberapa badan/lembaga seperti Pemkot Batu, Perhutani, Jasa Tirta, dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas.
“Mestinya bisa dirampingkan menjadi badan sendiri dari hulu sampai hilir, sehingga berhak membuat aturan dan memberikan sanksi,” kata Rere kepada wartawan di Sekretariat Walhi Jatim, Senin (9/1).
Rere menjelaskan, menurut catatan Walhi, Sungai Brantas yang melingkupi wilayah paling luas di Jatim ini dari hulu sampai hilir ada pengrusakan. Di hulu, dari 111 sumber mata air, kini tinggal 57. Hilangnya sumber mata air tersebut, lanjutnya, mulai terjadi pada 2001 setelah Batu secara administratif ditetapkan sebagai kota.
“Paling besar dampak dari investasi pariwisata, adanya Jatim Park, Museum Angkut dan lain-lain. Bahkan ada 81 hotel di kota sekecil Batu,” ujar Rere.
Dampaknya, saat ini Kota Batu kekurangan air. Bahkan, Pemkot Batu telah berencana mengurangi pasokan air untuk Kota Malang agar bisa memenuhi kebutuhan air untuk warganya.
Menurutnya, hampir di seluruh negara-negara besar menerapkan satu manajemen dalam pengelolaan wilayah sungai. Bahkan pengelolaan sungai Rhein yang melintasi berbagai negara dipegang satu manajemen. “Pola pengelolaan terbaik seperti itu dan itu sudah dilakukan di banyak negara,” kata dia.
Di samping itu, Walhi Jatim juga miminta kepada pemerintah agar seluruh wilayah hulu sungai dijadikan kawasan lindung. Jika ada pola investasi di kawasan hulu, kata Rere, harus menaati tata kelola dan memahami kawasan lindung. Sesuai aturan, dalam rentang 200 meter dari sumber mata air tidak diperbolehkan dibangun bangunan. “Jarak 200 meter tidak boleh ada bangunan, tapi kenyataannya bahkan di atas sumber mata air dibangun bangunan. Kalau taat tata kelola, kita sudah mengecilkan risiko dari pengelolaan sumber air,” kata dia.
Rere menambahkan, selama 2016 ini Walhi Jatim menyoroti regulasi yang lebih condong pada investasi sehingga memberikan dampak luar biasa bagi lingkungan. Di samping itu, belum adanya perlindungan bagi masyarakat yang berusaha menyelamatkan lingkungan.
“Kejadian bencana bukan melulu faktor alam tapi juga campur tangan manusia. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak bisa melindungi kerusakan lingkungan,” kata dia.
Oleh sebab itu, pada 2017 ini Walhi Jatim mendorong penguatan kapasitas hak masyarakat untuk bisa mengambil sendiri keputusan terhadap pengelolaan wilayahnya. Sebab, masyarakat memiliki hak untuk menentukan apakah wilayahnya boleh dijadikan kawasan pertambangan. Walhi juga mendorong pemerintah melakukan review ulang atau membatalkan regulasi yang mengancam keselamatan lingkungan.