REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mendorong pasar modal menjadi sumber utama dalam pembiayaan infrastruktur. Hal ini karena, pasar modal bersifat jangka panjang sama seperti proyek infrastruktur.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menegaskan, agar pasar modal tidak lagi dianggap sebagai sumber pembiayaan alternatif. "Pemerintah saat ini membutuhkan dana besar untuk pembiayaan infrastruktur di daerah dan itu tidak bisa dipenuhi hanya dengan mengandalkan APBN," ujarnya di Bali, Senin, (22/5).
Ia menjelaskan, perusahaan yang membutuhkan dana bisa menerbitkan saham, obligasi, maupun sukuk. Nurhaida menyebutkan, ada produk lain di pasar modal yang bisa dimanfaatkan yakni Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), Efek Beragun Aset (EBA), serta Dana Investasi Real Estate (DIRE).
Hanya saja ketiga produk tersebut, nilainya belum terlalu besar bila dibandingkan saham, obligasi, atau sukuk. "RDPT merupakan produk yang digunakan untuk mendanai sektor riil, sampai 18 Mei 2017 nilainya Rp 16,2 triliun," ujar Nurhaida. Kemudian EBA mencapai Rp 5,5 triliun dan DIRE sebesar Rp 400 miliar.
OJK kini terus memudahkan pelaku usaha, investor, bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk masuk ke pasar modal, di antaranya dengan pendaftaran melalui online (e-registration). Selain itu, mereka bisa mendaftar ke kantor regional OJK terdekat, sehingga tidak perlu ke kantor pusat OJK di Jakarta bila ingin melakukan penawaran umum saham dan obligasi.
Nurhaida menyebutkan, nilai perolehan dana dari pasar modal terus meningkat. Pada 2015 sebesar Rp 116,83 triliun, lalu meningkat 67 persen pada 2016 menjadi Rp 195,38 triliun. "Sejak 2017 awal sampai sekarang, nilai penawaran umum saham dan obligasi sudah mencapai Rp 49 triliun lebih," ujarnya.
Baca juga: Peringkat S&P Dinilai Bangun Optimisme Investor pada Pasar Indonesia