REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan 'Poros Maritim' yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini sudah menginjak usia dua tahun. Namun demikian, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) justru menilai kebijakan Jokowi di bidang kemaritiman saat ini semakin tak menentu arahnya.
"Meski banyak lompatan besar dalam hal pencetusan asuransi nelayan dan penindakan terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal di satu sisi, namun di sisi lain malah terjadi pembiaran perusakan lingkungan laut serta perampasan ruang hidup dan hak konstitusional masyarakat pesisir. Perhatian pemerintah terhadap para nelayan sebagai pilar utama Poros Maritim masih minim," ujar Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal KIARA, M Arman Manila, kepada Republika.co.id, Rabu (11/1).
Berdasarkan catatan KIARA, kata dia, sepanjang 2016 konflik ruang kelola laut dan pesisir di negeri ini masih marak. Telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, 18 kasus pertambangan, serta 40 kasus penangkapan nelayan cantrang.
Menurut Arman, kondisi tersebut menggambarkan minimnya keberpihakan negara terhadap masyarakat pesisir. Meski secara tegas dinyatakan bahwa nelayan adalah pilar utama Poros Maritim, namun kelemahan dalam kebijakan, implementasi, dan strategi pemerintah sangat nyata saat ini.
Koordinasi dan harmonisasi kebijakan antarinstansi, baik antar kementerian maupun antara pemerintah pusat dan daerah, tidak terjadi di lapangan. Karena itu, kata Arman, sangat wajar bila perjalanan Poros Maritim semakin tak menentu arahnya, bahkan sering kali dijadikan alasan untuk semakin menyingkirkan masyarakat pesisir.
Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan, lebih dari 107.361 kepala keluarga nelayan terusir dari ruang hidupnya akibat reklamasi. Fakta ini menggambarkan maraknya perampasan ruang kelola masyarakat pesisir di Indonesia.
"Poros Maritim Jokowi-JK tak tentu arah ketika keluarga nelayan terusir dari lautnya sendiri. Hal ini diperburuk dengan belum diakuinya perempuan nelayan sebagai subjek hukum dalam perundang-undangan Indonesia, sehingga mereka tidak mendapatkan dukungan yang mencukupi dari negara," kata Arman.
Salah seorang nelayan asal Manado Sulawesi Utara, Sudirman Hililo, juga mengutarakan pendapat yang sama. Menurut dia, masyarakat nelayan di kampungnya dalam beberapa waktu terakhir ini semakin merasa tertindas akibat proyek reklamasi yang terjadi di kawasan Teluk Manado.
"Perjalanan kami (para nelayan) cukup panjang dalam menolak reklamasi yang akan menghilangkan ruang hidup kami di Teluk Manado. Selama itulah kami terus menghadapi intimidasi dari oknum aparat pendukung reklamasi," ungkap Sudirman.