REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering) oleh Jaksa Agung dapat diartikan secara luas, sehingga rentan terkena bias kepentingan.
"Kewenangan tersebut sangat rentan untuk diartikan sesuai dengan kepentingan dari Jaksa Agung," ujar Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams ketika membacakan Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (11/1).
Hal ini disebabkan frasa "kepentingan umum" dalam ketentuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan tentang deponering tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang batasan "kepentingan umum" tersebut.
Dalam menerapkan deponering Jaksa Agung harus menerapkan penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa penerapan deponering dilakukan setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
"Kendati demikian, saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara seakan-akan sama sekali tidak mengikat dan Jaksa Agung hanya memperhatikan," kata Hakim Konstitusi Wahiddudin.
(Baca juga: MK Kabulkan Sebagian Uji Materi Ketentuan Deponering)
Mahkamah kemudian mengartikan bahwa kewenangan melakukan deponering benar-benar menjadi suatu kewenangan penuh yang dapat diambil oleh Jaksa Agung. Oleh sebab itu untuk melindungi hak konstitusional warga negara, Mahkamah merasa perlu memberi tafsiran dan penegasan terhadap penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, yaitu dimaknai dengan "Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".
"Tafsiran ini dibutuhkan supaya ada ukuran yang helas dan ketat dalam penggunaan kewenangan deponering oleh Jaksa Agung, karena terhadap kewenangan deponering tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya kecuali Jaksa Agung itu sendiri," ujar Hakim Konstitusi Wahiddudin.