REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bertambahnya kuota haji Indonesia dinilai perlu diantisipasi pemerintah, terutama di tahap pendaftaran. Selain itu, pemerintah juga diminta meningkatkan perhatian tak cuma pada fasilitas, tapi juga pembinaan calon jamaah haji.
Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Mafrudin, menjelaskan, bila kuota haji Indonesia pada 2017 sebesar 221 ribu, itu normal, tidak ada yang bertambah. Namun, Rabithah mengapresiasi langkah Pemerintah Saudi. Kuota haji Indonesia tiga tahun belakangan dikurangi karena renovasi Masjidil Haram.
Terlepas dari itu semua, Ade menilai, yang lebih penting adalah menangani 50 ribu orang calon jamaah haji lagi yang tahun ini siap melunasi BPIH.
"Pemerintah harus mengantisipasi, terutama pendaftaran. Pemerintah bisa membuat ancang-ancang daftar calon jamaah yang akan berangkat dan prediksi BPIH sebelum ada BPIH final yang dirumuskan bersama DPR," kata Ade, Kamis (12/1).
Pemerintah bisa membuat pengelompokan jamaah haji misalnya dalam daftar hijau dan kuning. Daftar hijau adalah mereka yang siap melunasi BPIH. Bila yang ada calon jamaah di daftar hijau yang mundur, bisa segera digantikan oleh mereka yang ada di daftar kuning.
"Sehingga tidak ada kuota haji reguler yang mubazir dan akhirnya malah dilempar untuk haji khusus," kata dia.
Daftar ini juga untuk mencegah perpanjangan waktu pendaftaran terus-menerus. Dengan begitu waktu pembekalan seperti untuk manasik bisa lebih matang. Yang jadi perhatian pelaksanaan haji bukan hanya fasilitas yang baik, tapi juga kualitas ibadah jamaah.
Indeks kepuasan jamaah haji Indonesia 2016 yang menurut BPS meningkat fokusnya pada layanan umum. Substansi ibadah jamaah belum terukur. Padahal, ratusan ribu jamaah yang berhaji harus bisa dilihat efeknya.
Persiapan jamaah haji bukan hanya soal berapa kali manasik, tapi pembinaan yang dilakukan. Sekali-kali, bisa juga calon jamaah dites membaca Alquran. Dengan begitu, status mampu beribadah haji bukan hanya dari sisi materi, tapi juga pengetahuan berhaji.