REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Selama berdekade, Israel menggunakan penghancuran rumah sebagai cara untuk mengendalikan populasi Palestina di wilayah okupasi. Mereka juga menolak dan menunda-nunda pengajuan izin mendirikan bangunan warga Palestina.
Israel hanya menerima kurang dari dua persen dari total permintaan izin bangunan. Rumah dan toko-toko hampir tidak pernah lolos. Ini membuat mereka tinggal di tempat yang disebut ilegal oleh otoritas Israel. Hanya tinggal menunggu waktu, alat berat datang meratakannya dengan tanah.
Dalam beberapa bulan terakhir, Israel mulai gencar dengan kebijakan baru. Mereka menghancurkan rumah pelaku penyerangan terhadap warga Israel. Tindakan ini disebut kejahatan perang oleh hukum internasional.
Dalam satu tahun penuh 2016, Aljazirah bekerja sama dengan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs untuk memantau dan mendokumentasikan setiap aksi penghancuran di Yerusalem timur. Aljazirah sebenarnya memantau sejak kericuhan 'intifada ketiga' tahun 2015.
Namun 2016 mencetak rekor baru, penghancuran terbanyak sejak UNOCHA menghitungnya pada 2009. Lembaga juga menghitung jumlah warga Palestina yang terpaksa mengungsi atau terimbas.
Menurut data, skala kebijakan penghancuran mencakup beberapa hal, termasuk penghancuran pemakaman. Tak jarang warga Palestina dipaksa menghancurkan sendiri rumah mereka. Jika dihancurkan oleh otoritas Israel, mereka harus membayar.
Menurut data yang dikumpulkan, lebih dari 1.200 orang terimbas penghancuran pada 2016 dengan jumlah rumah sekitar 250 unit. Padahal tahun sebelumnya hanya sekitar 600 orang terimbas penghancuran yang melibatkan sekitar 100 unit rumah.
Dari data, aksi penghancuran rumah paling tinggi terjadi pada Juli 2016, diikuti Maret, November. Seorang aktivis dan profesor arsitektur Yosef Jabareen mengatakan Israel memiliki rencana yang sangat jelas untuk menghentikan prospek kota Palestina.
Menurut data pusat legal Arab Minority Rights in Israel, tidak ada kota atau wilayah baru untuk Palestina sejak pembentukan negara Israel pada 1948. Sebaliknya, Israel bisa mengembangkan 600 wilayah Yahudi yang masih terus bertambah.
Jabareen mengatakan sangat sulit mengembangkan kota karena tidak ada rencana konstruksi. Semua rencana seperti ini harus melalui izin Israel sehingga tidak pernah ada harapan untuk sekadar merencanakannya.
Saat ini ada sekitar 1,7 juta penduduk Palestina di Israel. Mereka tinggal sebagai warga kelas dua di kota Yahudi. Menurut Arab Minority Rights in Israel warga Palestina menderita lebih dari 50 diskriminasi hukum yang membatasi segala upaya dan ekspresi politik.
Seorang aktivis di Israel, Nadim Nashif yakin ini adalah taktik Israel untuk menekan warga. "Palestina tetap menerima hak yang sangat sedikit, sejak 1948 dan 1967," kata Nashif merujuk tahun berdirinya Israel dan masa perang dimana Isreal merebut Yerusalem.