Pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Negeri Tirai Besi, Nikita Sergeyevich Khrushchev, merasa sudah menang psywar terhadap rivalnya dalam perang dingin, presiden Amerika Serikat John F Kennedy.
Ia memiliki ide untuk mengundang presiden Indonesia Sukarno ke Moskow. Apalagi, saat itu Indonesia berhasil menyandera pilot intelijen Negeri Paman Samuel, Allan Pope. Ia terbukti terlibat dalam pemberontakan mendukung gerakan Permesta di Sulawesi Utara, pada 1958.
Sukarno tidak mau melepaskan pilot bayaran yang pesawatnya ditembak TNI di kawasan Maluku. Kondisi itu dimanfaatkan oleh Kamerad Khrushchev. Setidaknya ingin menunjukkan kepada 'raja' kapitalis dan liberalis itu bahwa Indonesia berdiri di belakang 'raja' komunis, Uni Soviet.
“Paduka Yang Mulia, Bung Karno. Kami mengundang yang mulia untuk datang ke Moskow, menjadi tamu kehormatan negara dan bangsa kami," kata Khruschev, melalui sambungan telepon dalam bahasa Inggris, pada Januari 1961.
Dalam peristiwa yang terjadi 56 tahun lalu itu, Bung Karno memahami betul suasana batin Khruschev. Ia pun tidak mau begitu saja memenuhi undangan ke Moskow. Ia tidak ingin Negeri Pancasila terjebak dalam perang dingin. Bung Besar tidak ingin membawa Indonesia ke dalam situasi yang tidak menguntungkan.