Jumat 13 Jan 2017 19:30 WIB

Geliat Islam dan Muslim Benua Biru

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Muslim Prancis
Muslim Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam dan Muslim tak hanya ada di wilayah Timur Tengah. Demikian pula di Asia maupun Afrika. Islam juga berkembang di Eropa. Kejayaan Islam pada masa lalu dapat dilihat di Spanyol. Kekhalifahan Islam membangun peradaban di Andalusia, baik melalui ilmu pengetahuan maupun budaya.

Bahkan, BBC menyebutkan, Islam dinilai sebagai agama yang paling cepat berkembang di Eropa. Islam juga masuk ke Eropa bersamaan dengan masuknya imigran. Kian banyaknya jumlah imigran membuat jumlah populasi Muslim di sana pun ikut terkerek. Di sisi lain, ada pula orang asli Eropa yang memeluk Islam.

Faith Matters mengungkapkan, tahun lalu sebanyak 5.200 warga Inggris menjadi mualaf. Berdasarkan hasil survei, 56 persen mualaf itu merupakan warga kulit putih Inggris. Dari warga asli Inggris yang memeluk Islam itu, sebanyak 62 persen adalah perempuan. Mereka berasal dari kalangan muda, yakni berusia 27 tahun.

Ajmal Masroor, seorang imam masjid di London, Inggris, mengungkapkan sekitar tiga perempat mualaf adalah perempuan. Banyak orang mencari kedamaian spiritual. Mereka menemukan jawabannya dalam Islam. Perempuan, lebih mudah merenung dan mengambil langkah yang lebih serius, bahkan saat usia mereka masih muda.

Kondisi tersebut telah berlangsung sejak 20 tahun terakhir, terlebih lagi sejak peristiwa pengeboman menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001 di NewYork, Amerika Serikat.

Seperti Muslim di benua lainnya, Muslim di Eropa juga menghadapi sejumlah tantangan yang harus mereka atasi. Di antaranya Islamofobia dan munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap berbau Islamofobia. Di dalamnya adalah soal cadar, pelarangan pembangunan masjid maupun menara masjid, dan diskriminasi.

Pada 29 November 2010 lalu, hasil referendum yang digelar di Swiss menyatakan dukungan terhadap larangan pembangunan menara masjid. Ini kemudian memantik perdebatan dan unjuk rasa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Umat Islam berunjuk rasa menentang pelarangan itu.

Terlepas dari soal menara masjid, Muslim di Eropa terus berupaya untuk membangun masjid sebagai sarana beribadah yang layak. Ini terjadi di Swedia, Prancis, Italia, Austria, Yunani, Jerman, dan Slovenia. Banyak juga yang menentang proyek pendirian masjid tersebut.

Di Athena, Yunani, Muslim harus menunggu puluhan tahun agar diizinkan mendirikan bangunan masjid. Pemerintah memang pernah menjanjikan, tetapi setelah beberapa pergantian pemerintah, janji itu tak kunjung mewujud. Belum lama ini, Pemerintah Yunani juga menjanjikan segera merealisasikan masjid di Athena.

Selama ini, Muslim di Athena menunaikan ibadah shalat di ruangan basement gedung. Selain soal masjid, isu lainnya adalah persoalan cadar. Sejumlah negara di Eropa menetapkan larangan cadar. Belgia dan Prancis, misalnya, meloloskan aturan yang melarang penggunaan cadar di tempat-tempat umum.

Menurut mereka, cadar tak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Eropa. Meski cadar tak diwajibkan dalam Islam, isu ini menjadi perhatian Muslim di Eropa. Menurut mereka kebijakan ini diskriminatif. Hal yang sama juga ditegaskan oleh kelompok pembela HAM.

Amnesty International melayangkan kecaman terhadap pelarangan cadar sebab langkah itu merupakan serangan terhadap kebebasan beragama. Philippe Hensmans dari Amnesty Belgium, menyatakan, pelarangan cadar di Belgia tak melalui pembicaraan nasional yang memadai dan tak jelas apakah itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Integrasi juga menjadi hal yang kini menjadi sorotan dari sejumlah kalangan di Eropa. Mereka yang gencar mengusung tema ini adalah kelompok sayap kanan. Muslim, yang kebanyakan adalah imigran, dianggap tak bisa berbaur dengan masyarakat di mana mereka tinggal.

Pemerintah Jerman gencar mendorong lahirnya integrasi. Mereka melakukan pertemuan dengan organisasi-organisasi Islam. Tak hanya itu, mereka pun membina para imam masjid agar bisa berbahasa Jerman. Ada semacam kursus para imam yang kebanyakan menggunakan bahasa Turki itu.

Muslim juga mengupayakan berbaur dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka membuka masjid dan melakukan dialog antariman untuk saling mengenal dan memahami. Dengan demikian, masyarakat non-Muslim mengetahui apa sebenarnya Islam itu dan bagaimana Muslim menunaikan ibadahnya, misalnya shalat di masjid.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement