'Dr Johannes Leimena Patriot dan Diplomat'
Oleh: M Natsir*
PENGANTAR: Copi tulisan ini didapat Lukman Hakiem** melalui Ibu Asma Faridah Natsir, salah seorang putri M Natsir. "Saya memperoleh foto copy tulisan M Natsir yang dimuat pada buku biografi Dr Johannes Leimena. Copy tulisan itu dikirim oleh A Djauhar Leimena, atas nama Keluarga Besar Dr Johannes Leimena kepada Keluarga Besar M Natsir melalui Asma Faridah Natsir."
Dalam surat pengantar tertanggal 23 Januari 2011, A. Djauhar Leimena antara lain menulis: “Suatu phenomena di zaman itu, terlepas dari aliran politik dan perbedaan agama, orang tua kita sangat menghormati keberadaan satu sama lain, serta tetap menjaga persahabatan dan tali silaturrahmi. Hal ini sudah jarang didapati di era sekarang ini.”
------------
Di kalangan rekan-rekan dan anggota-anggota staf, ia biasa disebut dengan “Oom Yo.” Ia senang dengan nama gelaran yang mengandung rasa keakraban itu.
Memang sudah merupakan salah satu sifat dari Saudara Leimena, bahwa, bila mula-mula berjumpa, orang merasakan seolah sudah lama berkenalan dengannya.
Dia lihat kita dengan mata terbuka membundar, wajahnya yang tersenyum, dan dengan kerenyut bibirnya yang membayangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan kata ringkas: Leimena mempunyai kepribadian yang menarik.
Kami pertama kali bertemu di Pegangsaan Timur 56, Gedung Proklamasi, di waktu itu sibuk mengurus perawatan pejuang-pejuang kemerdekaan kita yang luka-luka dalam pertempuran di sekitar Tangerang, di mana Dr. Leimena menjadi Direktur Rumah Sakit Tangerang.
Hubungan kami yang lebih erat ialah di waktu sama-sama duduk dalam Kabinet Sjahrir, silih berganti, Kabinet Hatta, dan Kabinet Kesatuan yang pertama. Resminya, Dr Leimena menjabat Kementerian Kesehatan. Tetapi sebagian besar pemikiran dan tenaganya tertumpah kepada partisipasi dalam mengatasi persoalan-persoalan politik dan diplomasi yang timbul silih berganti dalam masa revolusi fisik dan sesudahnya.
Orang tadinya tidak menyangka bahwa seorang abiturient dari sekolah dokter Stovia, antara lain memimpin rumah sakit tingkat kabupaten, mempunyai bakat sebagai seorang diplomat yang diakui kemahirannya. Baru saja Dr Leimena masuk kabinet, bakat berundingnya sudah terlihat dalam perundingan-perundingan mengenai penyerahan tawanan perang kepada Komandan Tentara Sekutu.
Dengan demikian ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang militer kedua belah pihak di mana ia dapat mendalami cara-cara berfikir mereka dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Dalam perundingan-perundingan seterusnya dengan pihak Belanda, dari perundingan Linggajati (1946-1947) sampai ke Konferensi Meja Bundar (1949), Dr. Leimena memberikan tenaganya dengan aktif juga di bidang yang mengenai ketentaraan.
Ia bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan perundingan dengan tenang dan konsentrasi. Tapi satu kali ia bicara, orang merasakan bahwa ia benar-benar menguasai persoalan yang dibicarakan, dan bahwa ia benar-benar sudah “mengerjakan PR-nya”. Ia rajin membaca, dengan kemampuannya untuk mencernakan apa yang dibacanya yang besar sekali. Bila orang masuk ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, orang segera tertarik oleh lemari bukunya yang besar penuh dengan buku-buku. Bukan saja buku-buku medis, tapi buku-buku di bidang sejarah, filsafat, politik, bermacam-macam. Ada Goethe, ada Max Weber, ada Arnold Toynbee, ada yang lain-lain.
Pihak Belanda pernah memberinya julukan Meneer de Dominee, lantaran cara-caranya yang lemah lembut. Sekalipun demikian, bila datang saatnya kelemahlembutannya itu tidak menghalanginya untuk menyatakan kepada lawan perundingan, pendirian delegasi Indonesia yang tegas-tegas.
Saya masih ingat sewaktu, semasa Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat di Jenewa, Dr Leimena duduk dalam delegasi di bawah pimpinan Anak Agung Gde Agung.
Setelah beberapa waktu perundingan bertele-tele, anggota Leimena berkata dengan caranya yang khas itu, lebih kurang:
“.... Tuan-tuan. Pemerintah Indonesia yang sekarang itu dan kami-kami ini termasuk orang-orang yang boleh dinamakan moderat. Tapi, kalau Tuan-tuan biarkan kami pulang dengan tangan kosong, maka Tuan-tuan pasti berhadapan dengan orang Indonesia yang lebih ekstrim!”
Dan kalau Meneer de Dominer sudah berkata secara 'tough' itu, lawan perundingan tahu: “Sudah pukul berapa hari sekarang.”
Dan memang apa yang diperingatkannya itu terjadi. Semenjak delegasi pulang dengan tangan kosong, Belanda berhadapan dengan Presiden Sukarno yang sudah dikelilingi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).