REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Jumlah warga Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan kekhwatiran terhadap Rusia meningkat. Hal itu khususnya dibandingkan sebelum pemilu di negara itu berlangsung pada 2016 lalu.
Sebuah survei yang dirilis pada Jumat (14/1) lalu menunjukkan bahwa 82 persen warga AS melihat Rusia sebagai ancaman negara. Jumlah ini meningkat sebanyak 76 persen dibandingkan pada Maret 2015 lalu. Termasuk yang mengikuti jajak pendapat ini adalah 84 persen dari Partai Demokrat dan 82 persen Partai Republik.
Kekhawatiran semakin meningkat setelah adanya tuduhan Rusia terlibat dalam serangan peretasan selama pemilu. Intelijen AS menyebut bahwa negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu mungkin mempengaruhi hasil pemilihan.
Presiden terpilih AS Donald Trump selama ini terlihat menunjukkan sikap berbeda terhadap Rusia. Selama kampanye, ia mengisyaratkan untuk melakukan perbaikan hubungan dengan Moskow.
Termasuk dalam tuduhan serangan peretasan, Trump menilai pelakunya belum pasti dalah Rusia. Miliarder itu justru menyebut ada kemungkinan Cina terlibat dalam kejahatan itu.
Meski demikian, banyak orang, termasuk dari Partai Republik yang menilai Rusia tetap menjadi ancaman terbesar AS. Bahkan, Trump disebut dapat dengan mudah dipengaruhi oleh Putin di masa pemerintahannya yang secara resmi dimulai pada 20 Januari mendatang.
"Trump tidak memiliki pengalaman berhubungan dengan negara-negara lain dan saya rasa, ia akan mudah dipengaruhi Putin," ujar seorang anggota Partai Republik Oneita Wilkins.
Trump pada awal pekan ini melakukan konferensi pers pertama sejak memenangkan pemilu 8 November 2016 lalu. Ia menepis sejumlah isu yang mengatakan Rusia memiliki rahasia pribadi mengenai dirinya.
Pria berusa 70 itu sekaligus menegaskan tujuannya dalam berhubungan baik dengan Rusia. Ia menganggap hal tersebut dapat menciptakan keadaan dunia yang lebih kondusif.
"Jika Putin menyukai saya, itu adalah aset bukan kewajiban," jelas Trump.