REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengatakan, dia tengah mempertimbangkan sanksi dari negaranya terhadap Rusia. Ia menilai hal itu tidak perlu diberikan apabila kedua negara dapat menjalin hubungan baik.
"Jika Anda berinteraksi dengan orang yang baik dan benar-benar menolong, untuk apa kita memberikan sanksi kepada mereka?" ujar Trump dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, Jumat (13/1).
Salah satu sanksi yang tengah dipertimbangkan untuk Rusia adalah terkait dugaan negara itu melakukan serangan peretasan pada pemilu AS 2016, lalu. Termasuk juga terhadap sejumlah surat elektronik dari Partai Demokrat.
Pemerintah AS yang dipimpin Barack Obama menanggapi dugaan serangan cyber itu dengan memberikan sanksi bilateral. Namun, Trump mengatakan hal itu harus dilihat, muali dari alasan dan tujuan sebenarnya dari Rusia.
"Mungkin Moskow dapat membuktikan peretasan itu dilakukan justru untuk memerangi teroris dan mencapai tujuan-tujuan lain yang penting bagi Washington," jelas Trump.
Miliarder itu juga berencana untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kemungkinan, pertemuan berlangsung setelah Trump resmi dilantik sebagai Presiden AS ke-45 pada 20 Januari mendatang.
Meski demikian, untuk saat ini Trump masih tetap secara utuh menyepakati sanksi untuk Rusia. Tetapi, ia menekankan hal itu hanya untuk jangka waktu tertentu.
Selain membahas Rusia, Trump juga berkomentar mengenai Cina. Ia mengatakan, mungkin tidak akan berkomitmen dengan perjanjian bilateral antara AS dan negara itu, kecuali tercapainya kerja sama ekonomi, khususnya perdagangan dan mata uang.
Perjanjian bilateral yang harus diakui AS adalah mengenai Kebijakan Satu Cina. Dalam ketentuan itu, Negeri Paman Sam mengakui kedaulatan satu negara republik rakyat, termasuk Taiwan yang dianggap sebagai provinsi pembangkang. Pada 1979 lalu, AS menandatangi kesepakatan tersebut dan memulai hubungan diplomatik.
"Semua dalam proses untuk negosiasi kebijakan Satu Cina," kata Trump menambahkan.