Sabtu 14 Jan 2017 21:18 WIB

Parlemen Thailand Setujui Permintaan Raja Ubah Konstitusi

Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn (kiri) bersama ibunda Ratu Sirikit.
Foto: AP Photo/Apichart Weerawong
Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn (kiri) bersama ibunda Ratu Sirikit.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Parlemen Thailand dukungan tentara memberi suara bulat pada Jumat (13/1) bagi perubahan undang-undang dasar seperti yang disarankan kantor raja baru. Perubahan tersebut kemungkinan akan menunda pemilihan umum, yang dijadwalkan berlangsung pada akhir tahun ini.

Undang-undang dasar dukungan tentara itu adalah bagian penting dari rencana penguasa menyelenggarakan pemilihan umum untuk mengembalikan Thailand ke pemerintahan demokratik setelah kudeta pada 2014. Rancangan undang-undang dasar itu disetujui dalam penentuan pendapat rakyat tahun lalu dan menunggu pengesahan Raja Maha Vajiralongkorn yang naik takhta pada Desember.

Pemberlakuan undang-undang dasar itu, yang diajukan ke istana untuk disahkan kerajaan pada November, diperkirakan pada awal Februari. Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Selasa menyatakan kantor Raja Vajiralongkorn meminta beberapa perubahan atas pasal terkait kekuasaan raja dalam rancangan undang-undang dasar itu, campur tangan langka raja Thailand.

Dalam rangka membuat perubahan itu, Majelis Parlemen Nasional pertama harus mengubah undang-undang dasar sementara tersebut. Dari 231 anggota majelis itu, 228 mendukung perubahan tersebut pada Jumat dengan tiga abstain.

Majelis itu juga membuat perubahan, yang memungkinkan raja bepergian keluar negeri tanpa harus menunjuk wali untuk memerintah saat ia tidak ada. Raja Vajiralongkorn sering bepergian saat menjadi pangeran mahkota dan menghabiskan sejumlah besar kehidupan dewasanya di luar negeri, terutama di Jerman.

Anggota parlemen Somjet Boonthanom mengatakan kemungkinan, pemilihan umum berlangsung pada tahun depan. "Pemilihan umum akan berlangsung 15 bulan sesudah undang-undang dasar disahkan," kata Somjet kepada Reuters.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan negara adidaya itu, sekutu lama Thailand, yang mengurangi hubungan sesudah kudeta tersebut, ingin melihat Thailand kembali ke pemerintahan terbuka, demokratik, sesegera mungkin. "Kami ingin Thailand keluar dari masa peralihan itu sebagai demokrasi kuat, berkelanjutan, dan sejahtera, yang mencerminkan dan mewakili pandangan semua warga Thailand dan melindungi hak asasi manusia serta kebebasan mendasar," kata Katina Adams, wanita juru bicara departemen tersebut.

Pemerintah harus lebih dulu membuat perubahan diminta itu. Raja kemudian memiliki 90 hari untuk menyetujui perubahan tersebut, kata Somjet. "Menurut langkah itu, pemilihan umum harus berlangsung pada awal hingga pertengahan 2018," katanya.

Baik penguasa maupun Biro Rumah Tangga Kerajaan menolak menanggapi mengapa raja meminta perubahan tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement